Langsung ke konten utama

Postingan

Coret-coret Batu

Di postingan sebelumnya, aku telah menceritakan perjalananku pada hari pertama puasa. Ada bagian cerita yang belum aku ceritakan. Cerita tentang suasana hati ketika melihat-lihat bebatuan di Pantai Tanjung Tinggi. Suasana hati yang agak kecewa di tengah keriangan. Mari kuceritakan. Ketika aku berada di ketinggian bebatuan sebelum mengeluarkan laptopku, aku menyempatkan diri untuk melihat sekeliling. Melihat gugusan bebatuan yang bersanding dengan birunya air laut, birunya langit dengan aksen abu-abu khas awan mendung, dan juga putihnya pasir pantai. Di sapuan pandangan itu, aku terusik dengan tulisan di sebuah batu. Tulisan itu ditulis dengan pasir pantai: PURWO-DADI. Damn! Siapa yang sudah membuat tulisan itu? Tidak bertanggung jawab. tulisan PURWODADI setelah kucoba hapus Aku mempercepat urusan dengan laptopku. Aku turuni batu tempatku duduk. Aku meluncur ke “batu prasasti” tersebut. Cepat-cepat aku runtuhkan pasir-pasir pembentuk tulisan itu dengan tanganku. Kucoba ter
Postingan terbaru

Puasa Pertama

Hari ini, 29 Juni 2014, hari pertama puasa menurut hasil sidang isbat yang dilakukan oleh Kementerian Agama. Waktu sekolah dulu, seingatku, ketika hari pertama puasa, sekolah diliburkan. Untuk tahun ini, hari pertama puasa tidak diliburkan karena bertepatan dengan hari Minggu, yang otomatis libur. Hari puasa pertama, libur, otakku berpikir, jika hari ini digunakan hanya tidur-tiduran, alangkah ruginya aku. Yang kudapat hanya rasa lemas dan memandangi jam setiap saat. Jika kugunakan untuk keluar, aku tidak begitu yakin akan tahan godaan untuk mengakhiri puasa hari pertamaku ini. Sebab, ini Belitung, pulau tropis yang mataharinya cukup menyengat pada siang hari. Berbagai macam pertimbangan aku pikirkan. Jarang-jarang aku berpikir sebegini keras. Tak lama, aku bangkit dari tidur panjangku selepas sholat subuh. Pukul sembilan, tak biasanya aku mandi sepagi ini pada hari libur. Habis mandi, aku putuskan mengemasi kamera dan laptopku ke dalam tas pinjaman yang belum aku kembalikan.

Orang Gila Itu Bernama Bob Marino

Siang hari, ketika jam makan siang, aku galau mau makan siang apa. Sehingga aku putuskan untuk tidak makan siang dan hunting foto ke Pantai Tanjung Pendam. Kebetulan siang itu air laut sedang surut yang lumayan jauh. Banyak kapal yang terdampar di pantai tidak bisa digunakan melaut. Cukup indah untuk dipandang dan dipijak, tetapi tidak cukup indah untuk dijadikan objek foto atau memang aku bukan fotografer. Hehe. Setelah puas melihat-lihat dan mengambil beberapa gambar di titik terdekat dari garis pantai ke Pulau Kalimoa, pulau terdekat dari Pantai Tanjung Pendam, aku beralih ke pantai yang biasa digunakan untuk kegiatan rekreasi keluarga. Daerah pantai, yang masih di Tanjung Pendam, yang masih digunakan untuk kegiatan perlombaan. Sedang sibuk mengutak-atik setingan kameraku, aku diusik oleh seorang kakek berusia 69 tahun. Itu bukan tebakan, karena memang dia lahir tahun 1945, aku lupa tanggal tepatnya. Kakek bercelana jeans itu meminta untuk difotokan dengan latar Pantai T

Menulis di Kesendirian

Aku ingin curhat. Tolong dengarkan, wahai, Kesendirian! Seperti kebanyakan kegemaran, bagiku, menulis memerlukan teman. Teman yang akan meningkatkan rasa senang ketika menulis. Teman yang membangkitkan rasa ingin menulis. Meskipun aku bukan penulis. Ketika berada di antara teman-teman yang juga suka menulis, terutama ketika bersama teman-teman Birokreasi , aku merasa ada begitu banyak isi kepala yang ingin segera dikeluarkan ke lembaran-lembaran kertas elektronik. Walaupun nyatanya tidak banyak yang kuhasilkan karena aku bukan penulis seperti teman-teman hebatku itu. Ataupun jika sesungguhnya memang ada yang ingin aku tulis, sesegera itu aku urungkan karena hasil tulisanku tidak sanggup menjangkau mereka nun jauh di sana. Aku merasa butuh berada di antara orang-orang seperti mereka. Sempat ada seorang teman baru yang juga memiliki kegemaran yang serupa, tetapi tak berapa lama ia berpindah tempat kerja dan tak lagi bersua. Percik-percik bara kegemaranku untuk menulis masi

Hati yang Terkoyak

di sini, di dalam sini di dalam hatiku ini ada tanaman berakar tunggang yang tak tergoyahkan badai topan tanaman yang kau tanam dalam kita rawat siang malam akhirnya ia tumbuh tinggi menjulang meneduhi hati yang lama gersang tapi, tanpa peduli kondisi media tanamnya kau cabutnya begitu saja secara tiba-tiba aku tidak tahu kau mendapat kekeuatan darimana hatiku terkoyak serpihan dimana-mana terserak menyisakan lubang besar menganga yang tak tentu bentuk dan rupanya satu hal yang kutahu air mataku takkan jatuh sia-sia bentuk pertahanan terakhir menahan perihnya perih yang mendesak-desak rongga dada biarlah, biar kusendiri yang kembali menatanya serpihan demi serpihan agar siap kembali ditanam oleh pujaanku yang kan segera datang                                                                                                       Bureaucracy can’t stop me from    writing.

Merpati

Merpati terbang melayang Dilepas pemainnya di kejauhan Mencoba kembali dengan radar di hidungnya Untuk bertemu lagi dengan betinanya Merpati berpasangan Setia selalu berdua Apa jadinya jika sang betina dipisahkan? Sang jantan uring-uringan mencari ke sana ke mari Dicoba diganti dengan yang lain Tak akan ia peduli Ia mau betinanya Hanya dia, yang satu itu “Biarlah aku menua sendiri Karena hati ini tak mungkin dibagi Untukmu kujaga hati ini seorang diri Sampai nanti, sampai mati” – Merpati hitam tengkuk Bureaucracy can’t stop me from    writing.

Kopi di Pagi Hari

“Bu!” kataku sambil mengacungkan jari telunjuk. Itu kode yang kuberikan kepada ibu kantin hampir setiap pagi pada hari kerja. Kode yang telah sama-sama kami mengerti. Seperti sama mengertinya antara supir angkot dan penumpang yang mengetuk langit-langit angkot. Sama-sama mengerti walau tanpa adanya perjanjian sebelumnya. Tak sampai satu menit, hadirlah dihadapanku secangkir kopi hitam panas dengan aromanya yang khas. Aroma yang menyentuh lembut indera pembau di dalam batang hidungku yang—untungnya—agak mancung. Sejenak mata terpejam menikmati rangsangan yang datang. Indera pembauku seketika terpenuhi nafsunya. Merangsang otak menyekresikan hormon bahagia. Secepat aliran setrum menyambar, secepat itu pula senyum bahagia terbentuk di wajah. Kata orang, kopi bukan candu, tetapi nyatanya banyak orang sepertiku yang tak sanggup memulai hari tanpa secangkir kopi terkecap di lidahnya. Mata lebih membuka dan semangat lebih terpompa setelah tenggakan-tenggakan penuh kenikmatan.