Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2013

Koki Didit

Laki-laki, ketika ditanya soal hobinya, sebagian besar menjawab olahraga, otomotif, atau musik. Tetapi tidak untuk Didit. Seorang anak laki-laki dari sebuah kampung di selatan Jakarta. Usianya baru 14 tahun. Tengah duduk di bangku kelas 3 SMP. Gusar mamanya yang mengetahui Didit ingin melanjutkan sekolahnya ke SMK jurusan Tata Boga. Mamanya, yang  single parent,  menginginkan Didit masuk ke SMA regular. Yang dianggap lebih universal dan lebih diterima di kalangan industri dan terutama lebih mudah melanjutkan ke jenjang universitas. “Emang apa salahnya sih mah kalo aku mau jadi koki?” tanya Didit kepada mamanya. “Ngapain kamu susah-susah sekolah kalo Cuma mau jadi tukang masak? Mendingan magang aja tuh sama tukang nasi goreng!” jawab mamasambil berkacak pinggang dan menunjuk ke arah luar rumah. “Ih beda mamaaaahh. Koki sama tukang masak biasa tuh beda banget. Tukang masak mah yang penting jadi dan enak di makan. Nah, kalo koki, sebutan kerennya  chef,  gak cuma asal jad

Bumi (tidak) Punya Masa Depan

Hari ini, Senin, 22 April 2013, diperingati Hari Bumi. Hari untuk mengingatkan bahwa kita hidup memerlukan tempat berpijak. Tempat melakukan segala aktivitas: bermain, bekerja, makan, berkeluarga, dan masih banyak lagi. Kita hidup di bumi. Bumilah yang memberikan kita hidup. Kita berhutang budi sangat banyak kepada bumi. Bumi telah memberikan segalanya untuk kita. Air, tanah, udara, dan mineral-mineral penting yang terkandung di dalam perutnya. Bumi memunculkan pepohonan yang menciptakan oksigen dan keteduhan bagi kita. Bisa kita nikmati dan ambil sesuka kita. Bumi begitu baik kepada kita. Mungkin bumilah makhluk yang paling ikhlas di dunia. Bumi begitu pasrah ketika kita mengambil bagian-bagian tubuhnya. Bumi pasrah ketika kita melubangi tubuhnya dan menciptakan lubang-lubang tak beraturan. Bumi pasrah ketika kita menggunduli hutannya. Bumi pasrah ketika kita mencoba mengubah arah aliran sungainya bahkan membelah gunung-gunungnya. Bumi pasrah ketika kita membenamkan beton-

Suri Wilan

Sore, air laut menyapu pantai. Membawa butiran pasir lalu membawanya pergi lagi. Sepasang kaki putih bersih tenggelam setengah senti di pasir. Kaki milik seorang gadis yang sering dipanggil Suri. Lengkapnya Ifsuri Meilani. Gadis desa, kembang desa, dari keluarga biasa. Cantik mempesona. Rambutnya panjang sebawah pundak, berwarna kecoklatan, keriting agak kusut. Kulitnya tetap putih, mungkin ada garis keturunan China. Tangannya terlipat di depan dadanya. Risau menanti Wilan, kekasihnya. Seorang remaja yang juga dari keluarga biasa. Tidak begitu tampan, hanya saja menjadi pujaan perempuan-perempuan setempat. Dia cerdas, tidak heran jika dia berhasil meraih beasiswa dari sekolah dasar hingga kuliah. Dan sekarang diharuskan berangkat ke Kepulauan Natuna. Beasiswa kuliahnya yang mengharuskannya. Bekerja sebagai teknisi pertambangan minyak dan gas bumi selama 10 tahun. Klausul lain menyebutkan bahwa Wilan tidak diizinkan pulang dan atau menikah dalam jangka waktu 2 tahun pertamanya den