Kota Manado, salah satu kota yang ingin aku kunjungi. Bukan karena
magnet Bunakennya, melainkan entah apa. Aku pun tidak tahu. Hanya penasaran.
Aku bukan traveler. Bukan juga backpacker. Hanya memang sekadar ingin singgah
saja. Aku tidak tahu ada apa di sana selain Pulau Bunaken. Tidak pernah kudengar
sesuatu yang "Wah" tentang Manado yang bisa membuatku penasaran.
Dasar memang keberuntunganku. Aku mendapatkan kesempatan ke Manado
secara gratis, dibiayai negara lebih tepatnya. Kesempatan itu datang dalam
rangka kewajibanku mengikuti kegiatan prajabatan. Ya, aku CPNS saat itu. CPNS
di lingkungan Kementerian Keuangan. Dalam draft awal pengumuman pemanggilan,
aku dijadwalkan mengikuti prajabatan di Balai Diklat Cimahi. Kegiatan
prajabatan dilaksanakan di beberapa kota, salah satunya Manado. Aku mengikuti
perkembangan perubahan draft itu. Ada beberapa kali perubahan di daftar nama
peserta prajabatan di kota-kota penyelenggara. Hal itu berkaitan dengan
beberapa pertimbangan, di antaranya adalah tentang SPPD dan adanya CPNS yang
tengah melangsungkan pernikahan atau sedang hamil.
Aku pasrah ketika namaku ada di daftar peserta prajabatan di Balai
Diklat Cimahi. Itu perubahan draft terakhir yang aku tahu, dan memang sejak awal,
namaku tetap di situ. Aku pun sempat berandai-andai untuk bisa prajabatan di
Balai Diklat Manado. Ada rasa inginku untuk dapat prajabatan di Manado.
Mungkin itu firasat atau doa. Keajaiban terjadi. Anganku terwujud.
Ternyata ada perubahan peserta prajabatan lagi. Aku terpilih menjadi peserta
diklat di Manado. Perasaanku begitu senang, tetapi aku sembunyikan dari
teman-temanku. Karena pada awalnya aku sudah menolak tawaran untuk bertukar
tempat diklat dengan seorang teman. Aku lupa alasan permintaan pertukaran tempat
itu. Sempat terpikir juga, betapa bodohnya aku menolak tawaran itu. Kesempatan
emas begitu saja aku lewatkan. Tak apalah, setidaknya aku telah membuktikan
sendiri satu teori: kalau benang merah sudah menjodohkan, ke mana hendak ia akan
berlari?
Tak berapa lama, banyak orang yang tahu tentang kabar itu. Aku
mulai diberitahu rumor-rumor mengenai Manado. Aku sebut rumor karena belum aku
buktikan sendiri. Aku tidak menyengajakan diri mencari rumor-rumor itu, tetapi
orang-orang di sekitarku yang dengan sukarela tanpa diminta menceritakannya
kepadaku. Ada beberapa rumor. Salah satu yang paling sering diceritakan adalah:
perempuan-perempuan Manado itu mayoritas putih dan cantik, ada keturunan
Portugis. Aku tidak tahu pasti alasan mereka mengutamakan cerita tentang itu.
Begitu mesumnyakah wajahku? Atau, begitu perhatiannyakah mereka dengan status
jomblo bertahun-tahunku? Entahlah.
Antusiasmeku bertambah-tambah. Impianku ke salah satu kota yang
aku sekadar ingin singgah di sana akhirnya terwujud. Cerita-cerita tentang
Manado dari orang-orang di sekitarku membuat aku semakin penasaran, termasuk
keindahan Taman Laut Bunaken. Dan juga, jujur, ini pertama kalinya aku naik
pesawat! Bertahun-tahun aku membayangkan rasanya naik pesawat, terbang bagai
burung elang yang membelah awan sembari mengintai mangsa yang ada di darat.
Maaf kalau bagian ini agak berlebihan.
Terbanglah aku ke Manado bagai (baca: naik pesawat--Red) Garuda
(Indonesia--Red). Lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta sekitar pukul 10. Aku
duduk di kursi dekat jendela. Berdebar jantungku ketika detik-detik menjelang
terbang perdanaku. Luar biasa, pikirku. Ini kendaraan tercepat yang pernah
kutumpangi di darat (ketika di landasan runaway), lebih dari 300km/jam tanpa
ditilang Polantas berikat pinggang putih dan bersepatu PDH. Bayanganku,
mencapai ketinggian awan butuh hitungan menit, ternyata mungkin hanya sekitar
20 detik.
Pandanganku lepas ke luar jendela, takjub melihat gumpalan uap air
yang terevaporasi membentuk awan. Aku tidak habis pikir, bagaimana caranya
butir-butir uap air itu bisa menggantung di udara? Terdiamku beberapa saat.
Pikirku menuju ke beberapa waktu ke belakang, ketika aku di darat dan sempat berkhayal
dapat menyentuh awan. Dan sekarang aku sangat dekat dengan awan impianku,
tetapi aku tidak bisa menyentuhnya.
Pandanganku teralihkan menuju laut di bawahku ketika pandanganku
tidak lagi terhalang awan. Senyumku tersungging tak tertahan. Indah sekali
negeriku. Ketika orang-orang di dalam pesawat mulai tertidur, aku tidak
hentinya mengagumi negeriku, yang tampak begitu indah dilihat dari atas.
Seketika aku terjangkit narsisme, dalam artian cinta negeri
sendiri. Meruntuhkan impian untuk bepergian ke luar negeri yang senantiasa
menjadi propaganda di film-film dan acara traveling di televisi. Mungkin aku
akan jelajahi habis Indonesia, baru aku mau ke luar negeri. Tapi, cukupkah
umurku untuk itu? Berapa lama waktu untuk menjelajahi negeri surgaku ini? Aku
jadi ingat celotehan: Dunia itu sempit, tapi Indonesia itu luas, Bung!
Rumor pertama terbukti. Di bandara, aku melihat beberapa perempuan
Manado yang cantik dan putih. Ditambah
lagi dengan pakaian ala kadarnya (mini--Red). Mungkin aku akan betah di sini.
Skip! Foto-foto dulu di bandara. Slogan "Titou Timou Tumou" seakan
menyambutku di Kota Manado. Saat itu aku tidak tahu arti dari slogan itu. Arti sebenarnya
adalah “Manusia hidup untuk menghidupi”. Dikarenakan ketidaktahuanku yang, jujur, tidak disengaja pada saat itu, maka aku
anggap saja artinya: Selamat Datang, Saudaraku. Penerjemahan yang sangat ngawur tentunya. Tidak apalah. Yang penting, pada intinya: aku sudah tiba di Kota Manado.
(Bersambung)
Komentar
Posting Komentar