Langsung ke konten utama

Manado (1)



Kota Manado, salah satu kota yang ingin aku kunjungi. Bukan karena magnet Bunakennya, melainkan entah apa. Aku pun tidak tahu. Hanya penasaran. Aku bukan traveler. Bukan juga backpacker. Hanya memang sekadar ingin singgah saja. Aku tidak tahu ada apa di sana selain Pulau Bunaken. Tidak pernah kudengar sesuatu yang "Wah" tentang Manado yang bisa membuatku penasaran.

Dasar memang keberuntunganku. Aku mendapatkan kesempatan ke Manado secara gratis, dibiayai negara lebih tepatnya. Kesempatan itu datang dalam rangka kewajibanku mengikuti kegiatan prajabatan. Ya, aku CPNS saat itu. CPNS di lingkungan Kementerian Keuangan. Dalam draft awal pengumuman pemanggilan, aku dijadwalkan mengikuti prajabatan di Balai Diklat Cimahi. Kegiatan prajabatan dilaksanakan di beberapa kota, salah satunya Manado. Aku mengikuti perkembangan perubahan draft itu. Ada beberapa kali perubahan di daftar nama peserta prajabatan di kota-kota penyelenggara. Hal itu berkaitan dengan beberapa pertimbangan, di antaranya adalah tentang SPPD dan adanya CPNS yang tengah melangsungkan pernikahan atau sedang hamil.


Aku pasrah ketika namaku ada di daftar peserta prajabatan di Balai Diklat Cimahi. Itu perubahan draft terakhir yang aku tahu, dan memang sejak awal, namaku tetap di situ. Aku pun sempat berandai-andai untuk bisa prajabatan di Balai Diklat Manado. Ada rasa inginku untuk dapat prajabatan di Manado.

Mungkin itu firasat atau doa. Keajaiban terjadi. Anganku terwujud. Ternyata ada perubahan peserta prajabatan lagi. Aku terpilih menjadi peserta diklat di Manado. Perasaanku begitu senang, tetapi aku sembunyikan dari teman-temanku. Karena pada awalnya aku sudah menolak tawaran untuk bertukar tempat diklat dengan seorang teman. Aku lupa alasan permintaan pertukaran tempat itu. Sempat terpikir juga, betapa bodohnya aku menolak tawaran itu. Kesempatan emas begitu saja aku lewatkan. Tak apalah, setidaknya aku telah membuktikan sendiri satu teori: kalau benang merah sudah menjodohkan, ke mana hendak ia akan berlari?

Tak berapa lama, banyak orang yang tahu tentang kabar itu. Aku mulai diberitahu rumor-rumor mengenai Manado. Aku sebut rumor karena belum aku buktikan sendiri. Aku tidak menyengajakan diri mencari rumor-rumor itu, tetapi orang-orang di sekitarku yang dengan sukarela tanpa diminta menceritakannya kepadaku. Ada beberapa rumor. Salah satu yang paling sering diceritakan adalah: perempuan-perempuan Manado itu mayoritas putih dan cantik, ada keturunan Portugis. Aku tidak tahu pasti alasan mereka mengutamakan cerita tentang itu. Begitu mesumnyakah wajahku? Atau, begitu perhatiannyakah mereka dengan status jomblo bertahun-tahunku? Entahlah.

Antusiasmeku bertambah-tambah. Impianku ke salah satu kota yang aku sekadar ingin singgah di sana akhirnya terwujud. Cerita-cerita tentang Manado dari orang-orang di sekitarku membuat aku semakin penasaran, termasuk keindahan Taman Laut Bunaken. Dan juga, jujur, ini pertama kalinya aku naik pesawat! Bertahun-tahun aku membayangkan rasanya naik pesawat, terbang bagai burung elang yang membelah awan sembari mengintai mangsa yang ada di darat. Maaf kalau bagian ini agak berlebihan.

Terbanglah aku ke Manado bagai (baca: naik pesawat--Red) Garuda (Indonesia--Red). Lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta sekitar pukul 10. Aku duduk di kursi dekat jendela. Berdebar jantungku ketika detik-detik menjelang terbang perdanaku. Luar biasa, pikirku. Ini kendaraan tercepat yang pernah kutumpangi di darat (ketika di landasan runaway), lebih dari 300km/jam tanpa ditilang Polantas berikat pinggang putih dan bersepatu PDH. Bayanganku, mencapai ketinggian awan butuh hitungan menit, ternyata mungkin hanya sekitar 20 detik.

Pandanganku lepas ke luar jendela, takjub melihat gumpalan uap air yang terevaporasi membentuk awan. Aku tidak habis pikir, bagaimana caranya butir-butir uap air itu bisa menggantung di udara? Terdiamku beberapa saat. Pikirku menuju ke beberapa waktu ke belakang, ketika aku di darat dan sempat berkhayal dapat menyentuh awan. Dan sekarang aku sangat dekat dengan awan impianku, tetapi aku tidak bisa menyentuhnya.

Pandanganku teralihkan menuju laut di bawahku ketika pandanganku tidak lagi terhalang awan. Senyumku tersungging tak tertahan. Indah sekali negeriku. Ketika orang-orang di dalam pesawat mulai tertidur, aku tidak hentinya mengagumi negeriku, yang tampak begitu indah dilihat dari atas.

Seketika aku terjangkit narsisme, dalam artian cinta negeri sendiri. Meruntuhkan impian untuk bepergian ke luar negeri yang senantiasa menjadi propaganda di film-film dan acara traveling di televisi. Mungkin aku akan jelajahi habis Indonesia, baru aku mau ke luar negeri. Tapi, cukupkah umurku untuk itu? Berapa lama waktu untuk menjelajahi negeri surgaku ini? Aku jadi ingat celotehan: Dunia itu sempit, tapi Indonesia itu luas, Bung!
  
 Setelah sekitar hampir 3 jam perjalanan, menjadi 4 jam karena perbedaan waktu 1 jam dengan Jakarta, akhirnya aku tiba di Bandara Sam Ratulangi, Manado. Aku melihat banyak sekali pohon kelapa di sekitar bandara. Dengan semburat cahaya matahari sore yang condong lebih awal dari yang seharusnya. Indah.
 
Rumor pertama terbukti. Di bandara, aku melihat beberapa perempuan Manado yang cantik dan putih.  Ditambah lagi dengan pakaian ala kadarnya (mini--Red). Mungkin aku akan betah di sini. Skip! Foto-foto dulu di bandara. Slogan "Titou Timou Tumou" seakan menyambutku di Kota Manado. Saat itu aku tidak tahu arti dari slogan itu. Arti sebenarnya adalah “Manusia hidup untuk menghidupi”. Dikarenakan ketidaktahuanku yang, jujur, tidak disengaja pada saat itu, maka aku anggap saja artinya: Selamat Datang, Saudaraku. Penerjemahan yang sangat ngawur tentunya. Tidak apalah. Yang penting, pada intinya: aku sudah tiba di Kota Manado.

(Bersambung)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mari Bercerita

Payung Teduh kembali memperkenalkan karya emasnya. Lagu-lagu Payung Teduh dikenal sangat puitis dan romantis. Ditambah lagi dengan alunan musik Folk Jazz -nya yang syahdu membuat penikmat karyanya semakin merasakan keteduhannya. Salah satu lagu terbaru mereka berjudul Mari Bercerita. Karya-karya sebelumnya membuat kita membayangkan keromantisan si pembawa lagu dengan kekasihnya. Sementara di lagu ini, kita tidak perlu lagi membayangkannya karena lagu ini dibawakan secara duet dengan seorang wanita berparas ayu bernama panggilan Icha. Karya ini karya pertama Payung Teduh yang dibawakan secara duet. Suara mereka yang lembut dan merdu mampu membawa lagu ini ke suasana yang begitu romantis. Sebetulnya menurut penilaian saya, lirik lagu ini tidak sepuitis lagu-lagu sebelumnya. Liriknya sederhana, tetapi tidak menghilangkan romantismenya bahkan semakin dieksploitasi dengan kehadiran Icha sebagai teman duet Is (vokalis dan gitaris Payung Teduh). Berikut adalah lirik lagu tersebut.

Mengenang PT. Texmaco Perkasa Engineering

Industri manufaktur Indonesia sedang dalam perkembangan yang cukup memberikan angin segar. Beberapa waktu lalu kita digegerkan dengan mobil yang diciptakan di Indonesia oleh para pelajar SMK di Solo dengan bantuan dari perusahaan karoseri lokal, Kiat Keroseri. Mobil itu diberi label buatan pabrikan Esemka dengan berbagai variannya. Di antaranya adalah Digdaya dan Rajawali. Tidak hanya itu, bahkan murid-murid SMK telah diajarkan merakit pesawat terbang. Walaupun jenisnya hanya pesawat latih. Masyarakat bersemangat dan bergairah dengan kabar menggembirakan tersebut. Sebagian masyarakat bahkan telah memesan mobil-mobil buatan murid-murid SMK tersebut. Bapak Jokowi, selaku Walikota Solo kala itu, juga telah menggunakan mobil Esemka sebagai kendaraan dinasnya. Media begitu menggembar-gemborkan berita itu. Hampir semua stasiun televisi memberitakannya. Lalu, apa yang terjadi sekarang? Sudah hampir tidak ada beritanya lagi yang muncul di televisi. Kita hanya bisa menikmati beritanya dari me

Pabrik Tua PG Modjo

Ketika libur tiba, yang sebaiknya kita lakukan adalah berwisata. Wisata bisa kemana saja, yang menurut kita bisa merilekskan tubuh dan pikiran. Berbeda-beda bagi setiap orang karena ketertarikan setiap orang terhadap sesuatu juga berbeda. Seperti yang aku lakukan belum lama ini. Aku berkunjung ke rumah Budeku yang ada di Sragen, Jawa Tengah, untuk menghadiri Mbakku yang menjalani prosesi ngunduh manten (salah satu prosesi pernikahan adat Jawa). Beberapa waktu lalu, Mbakku pernah menceritakan kondisi Kota Sragen yang cenderung sepi dan panas. Menurutnya tidak ada yang menarik di kota itu. Paling pun yang ada hanya sebuah lokasi pabrik tua yang ada sejak zaman Belanda dan masih beroperasi hingga saat ini. Pabrik tersebut adalah pabrik gula. Ketika pertama datang ke sana, lokasi pabrik gula tua itu adalah pertanyaan-pertanyaan pertama yang aku lontarkan. Pabrik gula itu bernama PG Modjo. Modjo (Mojo) merupakan nama desa di lokasi pabrik itu berdiri, mungkin juga nama buah seperti dal