Aku ingin
curhat. Tolong dengarkan, wahai, Kesendirian!
Seperti
kebanyakan kegemaran, bagiku, menulis memerlukan teman. Teman yang akan
meningkatkan rasa senang ketika menulis. Teman yang membangkitkan rasa ingin
menulis. Meskipun aku bukan penulis.
Ketika berada di
antara teman-teman yang juga suka menulis, terutama ketika bersama teman-teman
Birokreasi, aku merasa ada begitu banyak isi kepala yang ingin segera
dikeluarkan ke lembaran-lembaran kertas elektronik. Walaupun nyatanya tidak
banyak yang kuhasilkan karena aku bukan penulis seperti teman-teman hebatku
itu. Ataupun jika sesungguhnya memang ada yang ingin aku tulis, sesegera itu
aku urungkan karena hasil tulisanku tidak sanggup menjangkau mereka nun jauh di
sana.
Aku merasa butuh
berada di antara orang-orang seperti mereka. Sempat ada seorang teman baru yang
juga memiliki kegemaran yang serupa, tetapi tak berapa lama ia berpindah tempat
kerja dan tak lagi bersua. Percik-percik bara kegemaranku untuk menulis masih
tetap kujaga, walau tak menjadi nyata di dunia maya. Saat ini masih menjadi
berkas-berkas goresan yang tak bermakna dan segera terlupakan. Aku hanya takut
bara itu mati tanpa kusadari. Saat ini, masih sulit bagiku untuk mendapatkan
bahan bakar tambahan. Bukan karena pulau ini sedang dikepung cuaca buruk
sehingga kapal tak ada yang sanggup sampai ke dermaga pulau ini, melainkan tak
ada bahan bakar yang cocok untukku mempertahankan ini.
Bagi sebagian
penulis, bisa jadi Pulau Belitong ini tempat yang ideal untuk menulis.
Pemandangan alamnya indah, kotanya sepi, aman, dan penduduknya pun ramah.
Tetapi tidak untuk penulis sepertiku. Penulis yang harus bersimbiosis
komensalisme dengan penulis lain. Penulis yang tak sanggup terus berkobar dalam
kesendiriannya.
Semakin lama aku
larut dalam kesendirian, semakin aku sadar akan diriku ini. Aku masih terlalu
muda untuk dibilang anak bau kencur dalam dunia menulis. Bisa jadi aku ini
hanyalah embrio berumur satu minggu yang berharap dijaga induknya agar tetap
hidup dan tumbuh untuk kemudian lahir. Aku sadar, bahasaku tidak jelas, arah
tulisanku tidak tahu ke mana, susunan kalimatku acak-acakan, dan masih sangat
banyak kekurangannya.
Semakin lama aku
merutuki diriku sendiri, semakin cepat baraku menuju mati. Sekali lagi, aku
butuh berada di lingkungan penulis. Aku tidak bisa bertahan lama untuk menjaga
baraku sendiri.
“Tulisan yang paling buruk adalah
tulisan yang tidak pernah ditulis.”
Itulah satu kalimat penuh makna dari
sahabatku, Galih, yang sanggup membuatku terus berusaha menjaga baraku tetap
menyala. Sekuat tenaga akanku pertahankan nyala baraku sampai kapanpun, walau
dalam kesendirian.
Terima kasih
telah bersedia mendengarkan curhatanku, Teman.
Bureaucracy can’t stop me from writing.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusayo nulis lagi bud, jangan galau mulu!!! :)
BalasHapusaku udah nggak galau kak, cuma belum ketemu moodnya buat ngetik aja :)
HapusAyo ayo nulis lagi
BalasHapusiya mas, masih on progress :3
HapusKata-katanya keren kok. Aku aja yang baru baca pertama kali, udah ketagihan n gak mau berenti baca tulisan kakak. Gak usa larut dalam kesendirian kak. Bukankah kesendirian itu sendiri juga tulisan yang tersirat. :) *Semangat..
BalasHapusiya olippp.. ini udah mau mulai lagi, kemarin juga udah ngepost yg baru :P
Hapus