Langsung ke konten utama

Orang Gila Itu Bernama Bob Marino


Siang hari, ketika jam makan siang, aku galau mau makan siang apa. Sehingga aku putuskan untuk tidak makan siang dan hunting foto ke Pantai Tanjung Pendam. Kebetulan siang itu air laut sedang surut yang lumayan jauh. Banyak kapal yang terdampar di pantai tidak bisa digunakan melaut. Cukup indah untuk dipandang dan dipijak, tetapi tidak cukup indah untuk dijadikan objek foto atau memang aku bukan fotografer. Hehe.

Setelah puas melihat-lihat dan mengambil beberapa gambar di titik terdekat dari garis pantai ke Pulau Kalimoa, pulau terdekat dari Pantai Tanjung Pendam, aku beralih ke pantai yang biasa digunakan untuk kegiatan rekreasi keluarga. Daerah pantai, yang masih di Tanjung Pendam, yang masih digunakan untuk kegiatan perlombaan. Sedang sibuk mengutak-atik setingan kameraku, aku diusik oleh seorang kakek berusia 69 tahun. Itu bukan tebakan, karena memang dia lahir tahun 1945, aku lupa tanggal tepatnya.

Kakek bercelana jeans itu meminta untuk difotokan dengan latar Pantai Tanjung Pendam menggunakan ponsel Nokia-nya. Tiga kali aku mengambil gambarnya. Tanpa ditanya, kakek itu langsung menceritakan tujuannya meminta difoto. Katanya ini untuk dokumentasi perjalanannya keliling Indonesia. Ingin memecahkan rekor MURI sebagai orang yang paling tua yang menjadi penjelajah Indonesia. Perjalanannya dimulai dari Pulau Bangka, beliau asli orang Bangka.

Ditunjukkannya kepadaku dokumentasi dari perjalanannya berupa buku jurnal yang di dalamnya ada pernyataan dan tanda tangan dari pejabat desa yang disinggahinya, lengkap dengan capnya. Kakek itu menunjukkan surat jalan dari Bupati Pangkalpinang. Disitu tertera namanya, Bob Marino. Kelahiran tahun 1945. Sekali lagi, aku lupa tanggalnya. Keren sekali namanya, kupikir. Walaupun sampai kapanpun namaku masih yang paling keren. Buktinya banyak orang tua yang menamai anaknya Budi. Sudahlah, lupakan.

Namanya berasal dari teman ayahnya yang mantan tahanan KNIL asal Ambon. Teman ayahnya itu ikut ke Bangka dan tinggal di Bangka. Ayahnya begitu dekat dengan temannya itu sehingga mengambil utuh-utuh namanya untuk anaknya tersebut. Begitu ia bercerita.

Tak hanya itu, ia juga menceritakan nama anak-anaknya. Anak yang pertama bernama Toto Kristanto. Kris itu nama orang terkenal menurutnya, entah siapa, aku lupa, mungkin musisi. Anak yang kedua bernama John Golkar yang bekerja di radio Tri Jaya FM Palembang dan sedang dipekerjakan di DPRD Palembang yang juga sempat menjadi tim sukses Alex Noerdin, Gubernur Sumatera Selatan saat ini. Namanya cukup keren dan unik, tapi tidak dia ceritakan asal namanya. Yang ketiga perempuan, namanya Delasta Floranita. “Seperti nama Spanyol kan?” katanya. Akupun mengangguk. Sebenarnya bukan itu maksudnya. Delasta itu singkatan Delapan Belas(t) April. Sementara Floranita ia ambil dari flora yang dimaksudkan hutan karena ia lahir di hutan dibantu dengan dukun beranak. Begitu penjelasannya. Agak nggak mainstream, pikirku, Kakek ini.

Kakek Bob kembali menceritakan tentang perjalanannya. Ia ingin menunjukkan kalau orang setua dia mampu untuk menantang dunia. Ingin memberi pelajaran kepada yang muda-muda untuk tetap semangat berkegiatan dan tidak takut menantang dunia. Anak-anak muda tidak ada yang mau diajak. Banyak yang dipertimbangkan menurut mereka. Mungkin saja mereka takut menghadapi tantangan. Sekarang Kakek Bob berusia 69 tahun, tetapi ia tetap merasa seperti usia 40an tahun. Semangatnya lho, kalau main perempuan sih nggak, terangnya.

Dua hari yang lalu ia baru saja dari Membalong, berjalan kaki dari jam setengah delapan pagi sampai jam empat sore. Menuju ke daerah Perpat. Seharian jalan kaki saya masih kuat, padahal pagi tidak sarapan, hanya minum air dan secangkir kopi. Saya buktikan saya kuat! Mobil, motor, segala kendaraan banyak yang melintas, tapi tidak satupun saya tumpangi untuk sampai ke tujuan. Bukannya tidak mau, tetapi karena tidak ada yang menawari saya tumpangan, haha, kelakarnya. Saya memang tidak mau meminta tumpangan, takut disangka perampok. Andaikata ada yang memberi saya tumpangan sih oke-oke saja. Toh buktinya saya tetap berjalan seharian.

Sepanjang jalan, saya meminta tanda tangan pejabat setempat untuk bukti saya sudah pernah ke tempat itu. Sampai di Desa Perpat, saya mendatangi sekumpulan ibu-ibu dan semuanya lari tunggang-langgang. Yang bawa motor hampir terjatuh dari motornya karena mengira saya orang gila dengan bendera merah putih di tasnya. Saat itu masih ada anak kecil yang ibunya masuk ke rumah karena takut. Anak itu bertanya, “Ada apa, Ki?” “Tolong panggilkan ibumu yang masuk barusan. Saya ini bukan orang gila.” Dipanggillah ibu itu, dan meminta maaf karena mengira saya ini orang gila. Padahal saya ke situ cuma mau tanya rumah Sekdes karena Kadesnya sedang tugas ke Bangka. Ini cuma di dalam kota aja saya nggak pakai bendera, sambil menunjukkan bendera merah putih berukuran sekitar 20cm x 30cm beserta tiang kecilnya.

Selama perjalanan saya ditemani lagu-lagu saya ini. Ia menyebutkan banyak sekali artis-artis lawas. Ia tidak suka lagu-lagu jaman sekarang. Tidak enak di kuping, jadi tidak meresap di hati. Maaf ya, bukan saya menghina, memang karena saya tidak suka. Ia pun menunjukkan koleksi CD MP3 miliknya sebanyak 7 keping dan juga pemutar MP3 miliknya berkapasitas 8GB yang dibelinya seharga 100ribu rupiah. Sambil nyanyi-nyanyi tahu-tahu sudah jam empat sore, nggak kerasa tuh.

Gini-gini saya masih punya cita-cita lho, Mas. Saya mau jadi bintang iklan minuman energi, kaya Mbah Maridjan gitu. Udah tua-tua gini kan, tapi masih kuat jalan sebegitu jauh cuma modal air putih sama kopi. Akupun segera meminta nomor ponsel kakek itu. Barangkali nanti aku punya link untuk membantu kakek itu menggapai cita-citanya. Oh, tenang, kalo nomor hape saya ada banyak, katanya menyombongkan diri. Disebutkanlah satu per satu: 081929560777, 081949134777, 085366681777. Semuanya berakhiran 777. Sengaja katanya. Nomor yang terakhir dia beli di Bangka seharga 100ribu rupiah. Sedangkan dua nomor lainnya dia beli di Tanjungpandan masing-masing seharga 15ribu rupiah. Dia menceritakan, di Bangka nomor cantik itu mahal, di sini cuma 15ribu. Sengaja saya cari nomor yang dua itu. Dari konter ke konter saya nomor yang belakangnya 777 dan dapat dua ini. Niatnya mau nambah satu lagi, hehe.

Akupun pamit dengan sedikit ada rasa geli. Ternyata, orang “gila” itu beraneka jenis. Salah satunya ya jenis seperti Kakek Bob ini. Sementara aku kembali ke pekerjaan, yang saat itu sudah jam 2 siang, Kakek Bob tetap di Pantai Tanjung Pendam. Mau santai-santai dulu katanya.


Good luck, Kek!
Kalo kamu, termasuk orang gila jenis apa?

Komentar

  1. hebat, kak budi ketemu orang unik, n jadi saksi hidup kalo orang unik itu "ada" hahaha *justkid..
    btw kayak pernah liat deh tu kakek-kakek :D
    ditunggu postingan barunya kak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. sering aku ketemu orang "unik", tapi yg ini emang unik cenderung aneh hhaa
      postingan selanjutnya on progress masih hheee

      Hapus
  2. bersemangat juga kalo menurut saya :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mari Bercerita

Payung Teduh kembali memperkenalkan karya emasnya. Lagu-lagu Payung Teduh dikenal sangat puitis dan romantis. Ditambah lagi dengan alunan musik Folk Jazz -nya yang syahdu membuat penikmat karyanya semakin merasakan keteduhannya. Salah satu lagu terbaru mereka berjudul Mari Bercerita. Karya-karya sebelumnya membuat kita membayangkan keromantisan si pembawa lagu dengan kekasihnya. Sementara di lagu ini, kita tidak perlu lagi membayangkannya karena lagu ini dibawakan secara duet dengan seorang wanita berparas ayu bernama panggilan Icha. Karya ini karya pertama Payung Teduh yang dibawakan secara duet. Suara mereka yang lembut dan merdu mampu membawa lagu ini ke suasana yang begitu romantis. Sebetulnya menurut penilaian saya, lirik lagu ini tidak sepuitis lagu-lagu sebelumnya. Liriknya sederhana, tetapi tidak menghilangkan romantismenya bahkan semakin dieksploitasi dengan kehadiran Icha sebagai teman duet Is (vokalis dan gitaris Payung Teduh). Berikut adalah lirik lagu tersebut.

Mengenang PT. Texmaco Perkasa Engineering

Industri manufaktur Indonesia sedang dalam perkembangan yang cukup memberikan angin segar. Beberapa waktu lalu kita digegerkan dengan mobil yang diciptakan di Indonesia oleh para pelajar SMK di Solo dengan bantuan dari perusahaan karoseri lokal, Kiat Keroseri. Mobil itu diberi label buatan pabrikan Esemka dengan berbagai variannya. Di antaranya adalah Digdaya dan Rajawali. Tidak hanya itu, bahkan murid-murid SMK telah diajarkan merakit pesawat terbang. Walaupun jenisnya hanya pesawat latih. Masyarakat bersemangat dan bergairah dengan kabar menggembirakan tersebut. Sebagian masyarakat bahkan telah memesan mobil-mobil buatan murid-murid SMK tersebut. Bapak Jokowi, selaku Walikota Solo kala itu, juga telah menggunakan mobil Esemka sebagai kendaraan dinasnya. Media begitu menggembar-gemborkan berita itu. Hampir semua stasiun televisi memberitakannya. Lalu, apa yang terjadi sekarang? Sudah hampir tidak ada beritanya lagi yang muncul di televisi. Kita hanya bisa menikmati beritanya dari me

Pabrik Tua PG Modjo

Ketika libur tiba, yang sebaiknya kita lakukan adalah berwisata. Wisata bisa kemana saja, yang menurut kita bisa merilekskan tubuh dan pikiran. Berbeda-beda bagi setiap orang karena ketertarikan setiap orang terhadap sesuatu juga berbeda. Seperti yang aku lakukan belum lama ini. Aku berkunjung ke rumah Budeku yang ada di Sragen, Jawa Tengah, untuk menghadiri Mbakku yang menjalani prosesi ngunduh manten (salah satu prosesi pernikahan adat Jawa). Beberapa waktu lalu, Mbakku pernah menceritakan kondisi Kota Sragen yang cenderung sepi dan panas. Menurutnya tidak ada yang menarik di kota itu. Paling pun yang ada hanya sebuah lokasi pabrik tua yang ada sejak zaman Belanda dan masih beroperasi hingga saat ini. Pabrik tersebut adalah pabrik gula. Ketika pertama datang ke sana, lokasi pabrik gula tua itu adalah pertanyaan-pertanyaan pertama yang aku lontarkan. Pabrik gula itu bernama PG Modjo. Modjo (Mojo) merupakan nama desa di lokasi pabrik itu berdiri, mungkin juga nama buah seperti dal