Langsung ke konten utama

Menerangi Tambal Ban


Hari ini, Jumat, 8 Maret 2013.
Berangkat pagi seperti biasa, pukul 6 pagi. Dengan memboncengi adik bungsu saya yang hendak bersekolah. Saya tancap gas. Masih beberapa puluh meter dari rumah, jalan mulai menanjak. Memang rute setiap hari yang saya lalui. Yang berbeda adalah rasa "membuang" pada ban belakang sehingga motor pun goyang. Tentu saja bukan goyang seperti penyanyi-penyanyi dangdut. Pasti ban belakang bocor, kata saya dalam hati. Kemudian saya berhenti, untuk memastikannya. "Al, liatin bannya, kayaknya bocor deh," kata saya kepada Alfi, adik saya. "Iya mas, bocor," jawab Alfi sambil menunjukkan ban belakang sudah kehabisan udara. "Terus gua gimana, Mas? Udah mau telat ke sekolah ini." "Iye, gua telpon bapak deh." "Ngapain?" "Ya nganterin elu sekola, masa gua suruh nyuci baju?" Segera saya telpon bapak saya dan bapak saya pun segera menyanggupi untuk mengantarkan adik saya sekolah. Bapak saya memang luar biasa, segera datang menolong ketika anaknya mengalami kesulitan. Tidak peduli sedang makan ataupun buang air besar. Kemudian saya tinggalkan adik saya di depan gang, tempat janjian dengan bapak saya. Sementara saya meluncur ke bengkel dengan tetap menaiki motor tetapi dengan posisi agak membungkuk ke depan dengan tujuan agar tidak terlalu membebani ban belakang yang saya duga bocor. 


Masih pagi, untunglah sudah ada bengkel yang buka. Saya mengira-ngira mekanik bengkel kecil itu bukan orang batak -banyak bengkel kecil semacam ini yang montirnya orang batak- melainkan orang betawi. Atau mungkin orang jawa. Mulailah sang montir membongkar ban belakang saya. Mencungkil tepi ban luar yang bersembunyi di balik velg racing warna hitam dengan sepasang pencungkil dari besi. Ini akan sedikit lama. Saya mencari penghilang rasa bosan. Saya menoleh ke arah etalase bengkel, melihat barang dagangan yang sepertinya banyak stok lama yang tidak laku. Lalu mata saya terusik dengan sticker yang ada di kaca etalase. Ada sticker oli castrol dan tepat di atasnya, sang pemilik bengkel menempelkan tulisan "kastrol" yang dibuat sendiri dengan potongan huruf yang tidak lebih bagus dari tulisan anak kelas 1 SD dan tidak dengan penulisan yang benar. Yang saya bingungkan, apa perlunya "kastrol" itu jika sudah ada sticker asli dari "castrol"? Penulisannya salah, tulisannya jelek, dan warnanya yang putih membuatnya tidak terlihat dari jalan. Di etalase lainnya juga ada sticker, yang membuat saya tertawa dalam hati. Di sana tertempel sticker vokalis tampan nan karismatik, Ariel, dalam versi karikatur yang lucu dengan sebuah microphone di depannya dan dengan tagline "Kalian Luarbiasaaaa...". Lucu, kreatif, cukup menghibur. Oke, tadi sekadar intermezo saja. Ban telah selesai dipanaskan untuk merekatkan tambalan. Ada yang aneh, sepertinya tambalan tidak menempel dengan sempurna, ada bagian yg mengangkat. Tapi tidak apa, hanya sedikit dan lubang yang bocor kecil sekali. Ban pun kembali dipasang. Selesai, enam ribu rupiah sebagai tebusan. Saya pun meluncur ke kantor. 





Sampai kantor telat 20 menit. Tak apalah, sesekali telat karena sial masih wajar, pikir saya. Di kantor, pekerjaan saya ternyata sangat banyak. Sesekali beristirahat melemaskan otot. Hingga menjelang garis finis jam kantor pekerjaan belum dapat saya selesaikan. Saya putuskan untuk lembur saja, walaupun tanpa uang lembur, tidak masalah. Pukul 20.30 dengan kondisi mata yang sudah menuntut untuk diistirahatkan saya memutuskan menyudahi lembur tak berbayar saya. Segera saya menuju tempat parkir di basement 2, mengambil motor untuk menuju tempat tidur tipis di rumah. Jalan menanjak keluar ke arah jalan raya. Yang saya rasakan persis seperti di tanjakan dekat rumah tadi pagi. Ban belakang membuang. Saya cek, dan ternyata kempesnya lebih parah daripada tadi pagi. Bocor lagi! What a perfect ban bocor day! Saya teringat, tadi pagi ada satu langkah yang dilupakan sang montir, yaitu mencari penyebab ban bocor. Mungkin paku atau jarum. 

Ini komplek perkantoran. Di mana saya harus mencari tukang tambal ban? Tidak mungkin tambal ban menyewa lahan di sini dan ini sudah terhitung malam. Saya tuntun motor menuju ke bengkel tambal ban kecil di area belakang kantor. Sampai tujuan, mesin kompresor warna oranye sudah tidak terlihat. Saya tanya tukang ojek di situ, katanya bengkelnya sudah tutup. Saya seka keringat yang mengucur. Ada bengkel lagi beberapa ratus meter ke depan. Daripada saya tuntun, saya naiki saja motor saya. Sudah tidak terpikir ban rusak atau pelek rusak. Untunglah bengkel yang dimaksud masih buka. Letaknya di pinggir sebuah taman. Gelap. Tidak cukup penerangan. Di situ ada motor lain juga yang sudah terlebih dahulu menggunakan jasa tambal ban ini. Ada seseorang yang menerangi tukang tambal ban dengan sebuah senter yang nyalanya sudah tidak lagi teratur. Kadang redup, kadang berkedip, sesekali mati. Tukang tambal ban ada dua orang. Saya dilayani oleh tukang yang kedua. Ketika ban ingin dikasarkan permukaannya dengan gergaji besi, sang tukang memanggil saya. Menyodorkan sebuah senter lain. "Tolong mas, senterin ke sini." Oohh, jadi mas-mas yang memegang senter tadi itu adalah si pemilik motor yang dimintai tolong. Saya baru paham. Setiap pelanggan yang dilayani pasti dimintai tolong untuk menerangi sang tukang tambal ban dengan senter. Jika tidak mau ya tidak dilayani. Silakan cari tempat lain. Monopoli bisa terjadi di mana saja. Mau tidak mau harus mau menerangi si tukang dengan senter. Memang tempat itu kurang terang untuk tukang tambal ban itu bekerja. Tidak apa, yang penting saya bisa pulang. Hari sudah terlalu malam bagi mata saya malam itu. Tambal ban pun selesai. Langkah yang dilupakan montir tadi pagi tidak dilupakan oleh sang tukang tambal ban profesional ini. Tapi juga minta tolong lagi memegangi senter. Tak lama, ia menemukan penyebab bocornya ban saya. Sebuah besi kecil, saya tidak tahu itu apa, dengan pinset ia memberikannya kepada saya. Ini penyebab saya harus memegangi senter dan menerangi tambal ban. Saya menggerutu dalam hati. Ban saya beres ditambal. Kali ini tebusannya lebih mahal, yaitu tujuh ribu rupiah. Tanpa dipotong jasa penerangan yang saya berikan. Tak lama dua pelanggan baru datang. Sengaja saya berdiam sebentar. Dan nasib mereka sama seperti saya, harus menerangi si tukang tambal ban. Saya hanya tersenyum geli dan langsung tancap gas.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mari Bercerita

Payung Teduh kembali memperkenalkan karya emasnya. Lagu-lagu Payung Teduh dikenal sangat puitis dan romantis. Ditambah lagi dengan alunan musik Folk Jazz -nya yang syahdu membuat penikmat karyanya semakin merasakan keteduhannya. Salah satu lagu terbaru mereka berjudul Mari Bercerita. Karya-karya sebelumnya membuat kita membayangkan keromantisan si pembawa lagu dengan kekasihnya. Sementara di lagu ini, kita tidak perlu lagi membayangkannya karena lagu ini dibawakan secara duet dengan seorang wanita berparas ayu bernama panggilan Icha. Karya ini karya pertama Payung Teduh yang dibawakan secara duet. Suara mereka yang lembut dan merdu mampu membawa lagu ini ke suasana yang begitu romantis. Sebetulnya menurut penilaian saya, lirik lagu ini tidak sepuitis lagu-lagu sebelumnya. Liriknya sederhana, tetapi tidak menghilangkan romantismenya bahkan semakin dieksploitasi dengan kehadiran Icha sebagai teman duet Is (vokalis dan gitaris Payung Teduh). Berikut adalah lirik lagu tersebut.

Mengenang PT. Texmaco Perkasa Engineering

Industri manufaktur Indonesia sedang dalam perkembangan yang cukup memberikan angin segar. Beberapa waktu lalu kita digegerkan dengan mobil yang diciptakan di Indonesia oleh para pelajar SMK di Solo dengan bantuan dari perusahaan karoseri lokal, Kiat Keroseri. Mobil itu diberi label buatan pabrikan Esemka dengan berbagai variannya. Di antaranya adalah Digdaya dan Rajawali. Tidak hanya itu, bahkan murid-murid SMK telah diajarkan merakit pesawat terbang. Walaupun jenisnya hanya pesawat latih. Masyarakat bersemangat dan bergairah dengan kabar menggembirakan tersebut. Sebagian masyarakat bahkan telah memesan mobil-mobil buatan murid-murid SMK tersebut. Bapak Jokowi, selaku Walikota Solo kala itu, juga telah menggunakan mobil Esemka sebagai kendaraan dinasnya. Media begitu menggembar-gemborkan berita itu. Hampir semua stasiun televisi memberitakannya. Lalu, apa yang terjadi sekarang? Sudah hampir tidak ada beritanya lagi yang muncul di televisi. Kita hanya bisa menikmati beritanya dari me

Pabrik Tua PG Modjo

Ketika libur tiba, yang sebaiknya kita lakukan adalah berwisata. Wisata bisa kemana saja, yang menurut kita bisa merilekskan tubuh dan pikiran. Berbeda-beda bagi setiap orang karena ketertarikan setiap orang terhadap sesuatu juga berbeda. Seperti yang aku lakukan belum lama ini. Aku berkunjung ke rumah Budeku yang ada di Sragen, Jawa Tengah, untuk menghadiri Mbakku yang menjalani prosesi ngunduh manten (salah satu prosesi pernikahan adat Jawa). Beberapa waktu lalu, Mbakku pernah menceritakan kondisi Kota Sragen yang cenderung sepi dan panas. Menurutnya tidak ada yang menarik di kota itu. Paling pun yang ada hanya sebuah lokasi pabrik tua yang ada sejak zaman Belanda dan masih beroperasi hingga saat ini. Pabrik tersebut adalah pabrik gula. Ketika pertama datang ke sana, lokasi pabrik gula tua itu adalah pertanyaan-pertanyaan pertama yang aku lontarkan. Pabrik gula itu bernama PG Modjo. Modjo (Mojo) merupakan nama desa di lokasi pabrik itu berdiri, mungkin juga nama buah seperti dal