Di postingan sebelumnya, aku telah menceritakan perjalananku
pada hari pertama puasa. Ada bagian cerita yang belum aku ceritakan. Cerita tentang
suasana hati ketika melihat-lihat bebatuan di Pantai Tanjung Tinggi. Suasana
hati yang agak kecewa di tengah keriangan. Mari kuceritakan.
Ketika aku berada di ketinggian bebatuan sebelum
mengeluarkan laptopku, aku menyempatkan diri untuk melihat sekeliling. Melihat gugusan
bebatuan yang bersanding dengan birunya air laut, birunya langit dengan aksen
abu-abu khas awan mendung, dan juga putihnya pasir pantai. Di sapuan pandangan
itu, aku terusik dengan tulisan di sebuah batu. Tulisan itu ditulis dengan
pasir pantai: PURWO-DADI. Damn! Siapa
yang sudah membuat tulisan itu? Tidak bertanggung jawab.
tulisan PURWODADI setelah kucoba hapus |
Aku mempercepat urusan dengan laptopku. Aku turuni batu
tempatku duduk. Aku meluncur ke “batu prasasti” tersebut. Cepat-cepat aku
runtuhkan pasir-pasir pembentuk tulisan itu dengan tanganku. Kucoba terus
menghapusnya, tetapi tetap tidak bisa hilang sempurna. Hanya dengan air
pasir-pasir ini bisa luruh sempurna, hanya saja aku tidak menginginkan tanganku
basah untuk menjaga kameraku tetap terjaga dari asinnya air laut. Setidaknya tulisannya
sudah tidak terbaca. Sialan juga orang yang sudah membuat tulisan ini.
Aku tinggalkan batu itu. Aku berbalik badan untuk menuju sela-sela bebatuan megalit itu. Seketika aku berbalik badan, seketika itu juga aku melihat tulisan di batu lainnya. Tulisan itu digores di batu tersebut dan tidak bisa dihapus: AREMA indonesia. Hey, what the hell with you, people! Arema? Malang? Tadi Purwodadi, sekarang Malang?! Orang jawa? Lagi-lagi orang jawa? Memalukan! Tunggu dulu, aku juga menemukan: SOLO. Aku yang juga orang jawa merasa malu terhadap kelakuan kalian. Tidak seharusnya kalian mempermalukan suku kalian untuk sekadar menunjukkan bahwa kalian pernah ke sini.
Ah, aku jadi teringat satu tulisan yang jauh lebih besar
dari tulisan ini. Lokasi batu itu juga terletak di tempat yang akan terlihat
semua orang yang datang. Tulisan itu: BONEK. (foto tentang ini akan diupdate). Semua orang tahu BONEK itu
supporter sepakbola Persebaya Surabaya. Kan, jawa lagi kan. Benar-benar membuat
gigiku beradu bergemeletak saking gemasnya. Kalian orang jawa para pembuat
prasasti ini benar-benar membuatku malu menjadi orang jawa. Jika kalian mau
merusak, rusaklah rumah kalian sendiri. Ini rumah orang. Rumah yang indah untuk
semua orang. Tidak hanya orang Indonesia, orang dari luar Indonesia pun akan
terkagum-kagum ketika datang ke sini. Jangan lagi kalian rusak keindahan alam
Belitung ini dengan prasasti alaymu itu.
Cukuplah kalian bereksistensi dengan berfoto dengan latar keindahan alam
Belitung. Hentikan coret-coret di atas bebatuan ini. Jangan hancurkan martabat
suku jawa, jangan sampai orang jawa dicap sebagai suku perusak.
Aku juga mencari-cari tulisan-tulisan lain yang mungkin terdapat di sisi batu yang lain dan ternyata banyak. Tak hanya mengatasnamakan kota asal, tetapi juga mengatasnamakan kelompok dan nama pribadi.
Berikut adalah
kumpulan foto-fotonya. (proses upload)
Kalian semua sama. Sama-sama perusak. Pemandangan yang indah
jadi ternoda dengan kenistaan kalian. Orang-orang di sini sudah gerah dengan
kelakukan para pencoret batu. Di sana-sini sudah dilakukan pembersihan terhadap
coretan-coretan itu. Salah satu yang berhasil adalah tulisan BONEK itu sekarang
sudah tidak kelihatan. Semoga kekecewaanku tidak berlanjut. Semoga orang tidak
ada lagi aksi coret-coret batu.
Mari sama-sama kita jaga keindahan alam kita agar makin
banyak wisatawan yang berkunjung. Makin banyak wisatawan yang berkunjung, makin
maju juga perekonomian kita, terutama perekonomian warga lokal.
Itulah isi kepalaku yang belum dituangkan di postingan
sebelumnya dan semoga kita sama-sama belajar.
mungkin niatnya memberi kenangan ada nama daerahnya di batu tersebut
BalasHapusya mungkin
Hapustapi apapun alasannya, merusak itu tidak dapat dibenarkan