Hari ini, 29 Juni 2014, hari pertama puasa
menurut hasil sidang isbat yang dilakukan oleh Kementerian Agama. Waktu sekolah
dulu, seingatku, ketika hari pertama puasa, sekolah diliburkan. Untuk tahun
ini, hari pertama puasa tidak diliburkan karena bertepatan dengan hari Minggu,
yang otomatis libur.
Hari puasa pertama, libur, otakku
berpikir, jika hari ini digunakan hanya tidur-tiduran, alangkah ruginya aku.
Yang kudapat hanya rasa lemas dan memandangi jam setiap saat. Jika kugunakan
untuk keluar, aku tidak begitu yakin akan tahan godaan untuk mengakhiri puasa
hari pertamaku ini. Sebab, ini Belitung, pulau tropis yang mataharinya cukup
menyengat pada siang hari.
Berbagai macam pertimbangan aku
pikirkan. Jarang-jarang aku berpikir sebegini keras. Tak lama, aku bangkit dari
tidur panjangku selepas sholat subuh. Pukul sembilan, tak biasanya aku mandi
sepagi ini pada hari libur. Habis mandi, aku putuskan mengemasi kamera
dan laptopku ke dalam tas pinjaman yang belum aku kembalikan. Aku nyalakan
motor Honda Grand butut nan handalku menuju pesisir pantai. Tujuanku belum
jelas mau kemana. Biarkan kemana motorku ini membawaku. Gas dan rem seolah-olah
bekerja secara autopilot, meluncur
sendiri.
Pertama aku dihentikan di sebuah
jembatan. Di bawahnya terdapat sebuah muara sungai yang cukup besar dan tidak
jauh dari situ ada dermaga kecil. Di tepi-tepi muara sungai tampak beberapa
perahu nelayan yang bersandar. Beberapa di antaranya miring karena air muara
terlalu surut. Air sungai mengalir ke muara dengan sangat perlahan. Tidak tampak
arus airnya mengalir ke laut. Hanya tampak riakan-riakan permukaan airnya yang
bergelombang halus tertiup angin laut. Air yang cukup tenang itu menggambarkan
pantulan pemandangan yang ada di atasnya. Indah sekali.
Beberapa warga lokal juga ikut
menikmati pemandangan itu. Mereka menepikan motornya seperti motorku menepikan
dirinya. Sesekali berdecak kagum sama sepertiku, mungkin sambil memuji Sang
Pencipta. Tak lama, mereka pun berlalu melanjutkan aktivitasnya.
Belum puas melihat-lihat, motorku
memanggilku untuk melanjutkan perjalanan. Aku kembali menyusuri jalan. Sesekali
pantai mengintip dari lebatnya hutan tepi pantai. Ada beberapa jalan setapak
yang bisa dilalui untuk mencapai pantai itu, tetapi nampaknya motorku tidak
menginginkannya. Justru motorku menghentikanku secara mendadak ketika nampak
susunan bebatuan yang indah di sisi jalan lainnya. Sebuah komposisi yang sangat
menjanjikan untuk dijadikan sebuah spot
wisata, sayang belum ada yang mengelola dengan baik.
Satu dua foto terambil, motorku
kembali meraung menuju tujuannya. Kali ini aku dibawa ke Tanjung Binga. Kami
melewati simpangan jalan ke Bukit Berahu, salah satu spot wisata yang cukup favorit. Hanya lewat saja. Aku benar-benar
tidak mengerti tujuan motorku. Malah aku dihentikan di sebuah dermaga
penyeberangan, dermaga Tanjung Binga. Ah, tidak buruk juga pilihan motorku ini.
Dari atas dermaga, aku dapat melihat dasar laut yang masih memiliki gugusan
karang dengan beberapa koloni ikan bermain-main di sela-selanya. Cantik.
Dermaga bersandingan mesra dengan
perkampungan nelayan. Perahu-perahu nelayan masih bersandar pasrah tersangkut
di pantai yang sedang surut. Tidak teratur, tetapi masih sedap dipandang mata.
Hanya saja langitnya yang mendung tak begitu pas di mata.
Belum sempat motorku memanggil,
aku sudah merasa tidak betah dan memintanya untuk melanjutkan perjalanan, kembali
membawaku sekehendak roda-roda gundulnya.
Ia pun memutuskan untuk langsung
membawaku ke spot utama: Pantai Tanjung Tinggi. Pantai Tanjung Tinggi memang
masih menjadi pantai yang paling favorit untuk dikunjungi. Selain pantainya
yang indah dengan pasir putih yang halus, ada juga gugusan-gugusan batu-batuan
besar yang tersusun begitu indahnya. Di sinilah tempat syuting Film Laskar
Pelangi yang menampilkan batuan-batuan besar, sangat besar.
Aku duduk di atas salah satu batu
besarnya itu. Aku memandang ke sekelilingku. Luar biasa, gumamku. Berkali-kali
sudah aku kesini, tapi tetap saja aku takjub dengan keindahannya. Seakan tak
ada rasa bosan mengujunginya, walaupun hanya seorang diri sekalipun.
Aku mengeluarkan laptop-ku, mengcopy hasil-hasil fotoku
sebelumnya dan kemudian meilah-milahnya. Hasil foto yang jelek langsung kuhapus
untuk memberi ruang lebih di micro SD card
kameraku karena kutahu aku akan mengambil gambar agak banyak di pantai ini.
Tak perlu berlama-lama, kembali
kukemasi laptopku ke dalam tas. Kuturuni batu singgasanaku dan mataku mulai
menjelajah seputar kawasan. Aku mengambil gambar, banyak, tapi karena kemampuan
kameraku yang memang kurang bagus, hasilnya pun menjadi kurang memuaskan. Aku pindah
ke gugus batuan lainnya. Aku beralih ke sisi pantai lainnya di balik gugusan
batuan itu. Aku mengambil gambar batuan dengan latar garis pantai putih. Komposisi
pencahayaan yang pas menurutku walaupun langit mendungnya membuatnya menjadi
tidak begitu bagus menjadi latarnya.
Mendung yang tadi membuatku
kecewa ternyata menjawabnya. Ia menurunkan pasokan airnya yang melimpah. Hujan turun
cukup deras untuk sesaat dan kemudian berganti menjadi gerimis intensitas
sedang. Gerimis ini menjebakku lumayan lama di mushola pantai bersama beberapa
pengunjung lainnya. Akupun tak tahu kapan bisa pulang karena aku kesini
menggunakan sepeda motor dan tidak membawa jas hujan. Belum lagi aku membawa
laptop dan kamera yang tidak boleh basah. Itu berarti aku tidak boleh
memaksakan diri menembus hujan dengan jarak tempuh selama sekitar 30 menit.
Hujan mereda, tetapi masih
gerimis halus. Aku putuskan segera pulang. Di perjalanan beberapa kali kembali
turun hujan. Terpaksa aku menepi untuk berteduh dan ini pastinya menambah waktu
tempuh. Tak apalah yang penting selamat, aku dan barang-barangku. Akhirnya aku
sampai juga ke rumah dalam keadaan basah. Sedikit kesialan di tengah keberkahan
hujan yang membuatku semakin puas melakukan perjalananku kali ini. Cara yang
lumayan produktif untuk mengisi waktu di hari pertama puasa ini.
wah puasa pertama ga lemes tuh kemanamana gitu ..kalau saya tidur terus :(
BalasHapusalhamdulillah nggak gan, justru seger nggak kebanyakan tidur hehe
Hapus