Langsung ke konten utama

Koki Didit


Laki-laki, ketika ditanya soal hobinya, sebagian besar menjawab olahraga, otomotif, atau musik. Tetapi tidak untuk Didit. Seorang anak laki-laki dari sebuah kampung di selatan Jakarta. Usianya baru 14 tahun. Tengah duduk di bangku kelas 3 SMP. Gusar mamanya yang mengetahui Didit ingin melanjutkan sekolahnya ke SMK jurusan Tata Boga. Mamanya, yang single parent, menginginkan Didit masuk ke SMA regular. Yang dianggap lebih universal dan lebih diterima di kalangan industri dan terutama lebih mudah melanjutkan ke jenjang universitas.

“Emang apa salahnya sih mah kalo aku mau jadi koki?” tanya Didit kepada mamanya.
“Ngapain kamu susah-susah sekolah kalo Cuma mau jadi tukang masak? Mendingan magang aja tuh sama tukang nasi goreng!” jawab mamasambil berkacak pinggang dan menunjuk ke arah luar rumah.
“Ih beda mamaaaahh. Koki sama tukang masak biasa tuh beda banget. Tukang masak mah yang penting jadi dan enak di makan. Nah, kalo koki, sebutan kerennya chef, gak cuma asal jadi dan enak, tapi juga mikirin banget gimana makanan itu bisa menggugah selera makan pelanggan sekaligus naikin nilai dari masakan kita lewat bahan dan tampilan mah,” Didit menjelaskan.
“Mama gak peduli, mau sef kek, mau gak disef kek, mama gak mau kamu jadi juru masak! Walaupun itu di restoran gede sekalipun! Mama mau kamu kerja di kantoran, meniti karir, kerja yang bergengsi dikit. Pokoknya, mama gak mau kamu jadi koki! Titik!” hentak mama.
“Kok mama seenaknya gitu bikin titik? Gak ngasih kesempatan buat aku. Kan aku yang ngejalanin,” kata Didit tidak terima.
“Mama yang bayarin kamu sekolah. Mama gak mau uang mama keluar sia-sia cuma demi anak yang gak nurut maunya mama,” kata mama menantang.
“Oh, gitu?! Oke! Aku bakal buktiin ke mama kalo aku bisa sukses jadi koki! Tanpa bantuan mama! Mulai saat ini, aku keluar dari rumah!” sahut Didit.
Didit segera meluncur menuju kamarnya untuk membawa buku, tas, dan seragam sekolahnya. Tidak membawa serta pakaian yang diberikan mamanya, termasuk pakaian dalam. Hanya perlengkapan sekolah yang diberikan gratis dari sekolahnya.
“Mau ke mana kamu Didit?!!” bentak mama.
“Aku gak mau tinggal sama mama!” jawab Didit penuh emosi.
“Dasar anak durhaka!” bentak mama seraya mengacungkan telunjuknya ke arah Didit.

Didit menghiraukan bentakan mamanya. Dengan bercucuran air mata, Didit keluar dari rumahnya dengan sepatu kanvas dari sekolahnya, tanpa kaus kaki. Berulang kali mamanya memanggil-manggil Didit. Beberapa tetangganya yang menyaksikan mencoba membujuk Didit untuk kembali, tapi tak diacuhkannya. Hatinya sudah terlalu hancur. Bahkan untuk ukuran seorang anak yang belum lulus SMP. Kata-kata yang dilekuarkan mamanya telah menancapkan paku bumi yang sangat kuat, yang kelak dapat membuatnya dapat berbuat apa saja demi ambisinya. Terutama menjadi koki kelas dunia. Pertama yang dia pikirkan adalah mencari tempat tinggal. Cukup sulit baginya untuk mencari tumpangan. Dia tidak mau menumpang tinggal di rumah seseorang dengan gratis. Untuk jangka pendek, dia tidak punya banyak pilihan. Dia menumpang di rumah penjaga sekolah. Selain dekat dengan sekolah karena rumahnya tepat di belakang sekolah, dia juga masih menganggap dapat membantu penjaga sekolah menyelesaikan pekerjaannya. Sehingga prinsipnya yang tidak ingin menumpang gratis dapat terlaksana. Untungnya, Pak Tarmin, penjaga sekolah yang sudah cukup berumur itu, bersedia memberikan tumpangan untuk Didit.

“Kamu boleh tinggal di sini semau kamu, gak perlu bantuin bapak, kamu fokus belajar aja. Kan dua hari lagi kamu harus ujian,” kata Pak Tarmin sambil menyodorkan semangkuk mie instan.
“Terima kasih banyak, Pak Tar,” jawab Didit seraya menyerbu mie instan yang masih mengepul asapnya.


***


Senin, pukul 5.00 pagi, Pak Tarmin melihat Didit yang tertidur pulas. Pak Tarmin sengaja membiarkannya. Mungkin kelelahan, pikirnya. Seperti biasa, Pak Tarmin membersihkan pekarangan rumahnya dan kemudian pergi ke sekolah untuk membersihkan sekolah sebelum digunakan untuk ujian nasional. Setibanya di sekolah, Pak Tarmin terkejut melihat sekolahnya telah bersih. Lantai dan kaca tampak bersih dan masih basah. Meja-mejanya juga sudah tertata sesuai permintaan pihak sekolah. Pasti kerjaan Didit, katanya membatin. Kembalilah ia ke rumah. Menemukan makanan dengan menu sederhana yang sudah tersedia rapih di meja makan. Lengkap dengan teh hangat. Tak lama, Didit keluar dari kamar mandi sambil menghanduki rambutnya yang masih basah ditambah senyum kudanya.

“Kamu memang anak nakal, Didit! Hahaha,” kata Pak Tarmin menyimpulkan.

Segera mereka menyantap makanan yang sudah tersedia itu. Terjadi percakapan panjang lebar. Yang pertama tentang masakan Didit yang dinilai Pak Tarmin enak luar biasa meskipun menunya sangat sederhana. Terasa mewah, katanya. Kemudian dilanjutkan dengan obrolan tentang cerita lengkap tentang alasan Didit nekat minggat dari rumah dua hari sebelum ujian nasional. Juga pertanyaan-pertanyaan basa-basi tentang suku, hobi, keluarga, dan kesiapannya menghadapi ujian nasional. Hingga rahasia nikmatnya sarapan buatannya.

“Soalnya masak itu juga perlu kepekaan juga, Pak. Kepekaan perasaan. Sudah pas belum nih? Selera orang yang menyantapnya seperti apa? Bumbu apa yang kurang? Itu semua butuh kepekaan perasaan juga, Pak. Hidup juga akan terasa lebih kan kalo kita peka sama orang lain? Eh, maaf, Pak. Aku gak maksud ngguruin. Ini cuma sepengetahuan aku aja,” kata Didit bersemangat.
“Hahaha. Gak papa kok. Bapak yakin, kamu bakal jadi koki yang hebat,” jawab Pak Tarmin.


***


Ujian nasional telah usai. Didit lulus dengan hasil memuaskan. Ia diberi kebebasan untuk memilih sekolah lanjutan. Ia memilih SMK jurusan tata boga di sebuah SMK yang letaknya tidak jauh dari rumah Pak Tarmin. Didit memperoleh beasiswa hingga lulus. Tetapi itu hanya gratis biaya pendidikan dan sarana belajar lainnya. Tidak termasuk uang saku harian. Jadi, ia harus memutar otak untuk bisa survive. Dalam benaknya, ia berpikir tidak mungkin membebani Pak Tarmin. Aku bukan siapa-siapa bagi Pak Tarmin selain benalu, pikirnya. Tidak mungkin juga ia pulang meminta uang untuk biaya hidupnya kepada mamanya. Malu setengah mati aku kalau pulang, pikirnya lagi. Akhirnya ia memutuskan untuk melamar pekerjaan di sebuah restoran seafood yang buka pada malam hari. Pas dengan jam sekolahnya. Didit bisa sekalian mengamalkan ilmu yang dia punya. Restoran itu menerimanya, tetapi posisinya hanya sebagai tukang cuci piring. Waktu sudah mendesak, dengan terpaksa Didit menyanggupinya.

Baru empat hari bekerja, keberuntungan menghampiri Didit. Asisten koki lama di restoran bermasalah dengan pemilik restoran. Asisten koki lama itu dipecat. Tetapi restoran tidak bisa libur. Didit meminta permohonan magang sebagai asisten koki. Ia diterima.

Didit mulai mengaplikasikan ilmu dan bakatnya. Dia berhasil merebut perhatian koki kepala. Semakin hari semakin dipercaya. Koki kepala mempromosikan Didit kepada pemilik restoran untuk menjadi asisten koki tetap di restoran itu. Didit tidak hanya mengerti apa yang diinginkan oleh koki kepala, tetapi juga dinilai kreatif luar biasa. Didit berhasil menciptakan menu-menu baru yang segera dicintai oleh para pelanggan. Gajinya naik dengan cepat bahkan hampir menyamai gaji koki kepala. Membuat iri para asisten koki yang lain. Beberapa usaha fitnah dari rekan kerjanya beberapa kali membahayakan, tetapi dapat ia atasi.

Uangnya ia tabung. Selang 2 tahun kemudian, ia membulatkan tekad untuk keluar dari rumah Pak Tarmin, mengontrak rumah yang sedikit lebih besar. Tak lupa juga ia membujuk Pak Tarmin untuk ikut bersamanya karena Pak Tarmin sudah ia anggap orang tuanya sendiri. Pak Tarmin menolak. Ia tidak menginginkan apapun dari kesuksesan yang diraih oleh Didit. Didit pun menyerah. Ia hanya menghadiahi Pak Tarmin pakaian, sepeda, dan perkakas baru.

Selain mengontrak rumah, ia juga nyambi membuka rumah makan kecil-kecilan dari hasil meminjam modal ke bank. Ia menyajikan menu-menu baru yang ia ciptakan di restoran seafood.

Hingga pada suatu saat ia dikhianati oleh kepala koki. Menu ciptaannya siakui oleh kepala koki sebagai ciptaannya. Kali ini ia benar-benar sakit hati. Sekalipun ia masih bisa bertahan, ia memutuskan untuk keluar.

“Kau pengkhianat! Biadab!” hentaknya sembari melepaskan topi kokinya dan melemparkannya ke wajah kepala koki.

Kesuksesan pertama Didit tidak sejalan dengan prestasi akademiknya yang awalnya digadang-gadang akan menjadi lulusan terbaik. Kegiatan belajar Didit sedikit terganggu. Beberapa kali pihak sekolah menegurnya. Ia hiraukan semua itu. Pihak sekolah sangat menyayangkan sikap Didit yang sudah lupa dengan sekolahnya. Hingga akhirnya Didit dikeluarkan dari sekolah. Itu tak membuat Didit jera. Justru memacunya untuk semakin membuktikan bahwa dirinya mampu sukses tanpa sekolah.

Kini rumah makannya laris. Pegawainya menjadi semakin banyak. Ia pun memutuskan untuk memperbesar lagi usahanya. Ia meminjam lagi uang dari bank. Seperti yang ia harapkan, usahanya maju pesat. Ia bisa membuka cabang di beberapa tempat. Ia kini telah berhasil menjadi orang sukses dalam bidang bisnis dan mengabaikan ambisinya menjadi seorang koki.

Didit kini dapat menikmati kekayaannya. Dalam kesenangannya, ia mengingat-ingat orang-orang yang telah membuat hidupnya hancur. Ia memaki-maki orang itu dalam pikirannya. Sesekali menghampiri sekolahnya, restoran seafood tempatnya dulu bekerja, hingga ke kediaman mamanya. Ia melihat mamanya yang semakin renta dan sebatang kara. Tak ada sedikitpun keinginan untuk mampir untuk meminta maaf.

“Rasakan!” gumamnya.

Semakin hari, kekayaannya semakin bertambah. Hidupnya ia habiskan untuk berfoya-foya. Menginjak-injak orang yang dianggapnya rendah. Bermanja-manja dengan wanita-wanita bayaran. Sering sekali ia lakukan. Tetapi ada satu wanita yang membuatnya benar-benar jatuh cinta. Ia salah satu dari wanita-wanita bayaran itu. Namanya Mona. Dikejarnya habis-habisan. Mona tidak mengacuhkannya. Mona tidak menyukainya. Didit pun hancur. Berkali-kali tenggelam alam berbotol-botol minuman keras. Ia gelap mata. Ia menyewa pembunuh bayaran untuk membunuh Mona.

Mona pun tewas. Didit merasa senang dan puas atas kematiannya. Yang sial adalah polisi dapat mengendus pembunuh bayarannya dan kini sudah meringkuk di tahanan. Didit gusar. Ia panik bukan main. Berkali-kali usaha melarikan dirinya terendus oleh polisi. Hidupnya tidak tenang. Hidup setiap hari dalam pelarian. Kekayaannya semakin lama semakin terkikis untuk membiayai hidupnya di pelarian. Bisnisnya sedikit demi sedikit mulai hancur, menuju ke arah kebangkrutan.

Pelarian tidak bisa selamanya menyelamatkannya. Ia tidak pernah tahu persis apakah ia dapat selamanya lolos atau tidak. Dan ini adalah harinya. Tepat di ulang tahunnya yang ke dua puluh dua, ia tertangkap oleh polisi ketika sedang merayakan pesta ulang tahun kecil-kecilan yang ia rayakan berdua dengan supir pribadinya, joni, di sebuah rumah makan. Rumah makan yang diminta oleh Joni. Tanpa diketahui oleh Didit, Jonilah yang memberitahu keberadaan Didit.

Baginya, inilah pengkhianatan terdalam yang pernah ia terima. Dikhianati oleh orang dekat yang sudah sangat dipercayainya. Tetapi tidak bagi Joni. Baginya, ini adalah bukti tanda pengabdiannya kepada majikannya.

“Bastard! Keparat! Pengkhianat!” kata Didit meronta-ronta.
“Maaf, Bos. Aku bukan pengkhianat. Kaulah pengkhianat yang telah mengkhianti orang-orang si sekitarmu. Termasuk aku,” kata mama Didit yang tiba-tiba muncul di belakangnya bersama Pak Tarmin.

Didit tertegun. Tubuhnya lemas. Air mata tercucur deras dari matanya. Juga mata mamanya.

“Didit, ikutlah dengan polisi. Pertanggungjawabkan perbuatanmu. Mama ingin melihat Didit yang sesungguhnya.
“Maafkan aku, Mama” Didit menurut.
“Selamat ulang tahun,” jawab mama Didit terbata-bata menahan tangis.

Hari ini adalah hari ulang tahun terindah baginya. Bukan pesta, bukan harta, bukan ucapan, bukan kado, melainkan penyadaran dari kekhilafannya selama bertahun-tahun.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mari Bercerita

Payung Teduh kembali memperkenalkan karya emasnya. Lagu-lagu Payung Teduh dikenal sangat puitis dan romantis. Ditambah lagi dengan alunan musik Folk Jazz -nya yang syahdu membuat penikmat karyanya semakin merasakan keteduhannya. Salah satu lagu terbaru mereka berjudul Mari Bercerita. Karya-karya sebelumnya membuat kita membayangkan keromantisan si pembawa lagu dengan kekasihnya. Sementara di lagu ini, kita tidak perlu lagi membayangkannya karena lagu ini dibawakan secara duet dengan seorang wanita berparas ayu bernama panggilan Icha. Karya ini karya pertama Payung Teduh yang dibawakan secara duet. Suara mereka yang lembut dan merdu mampu membawa lagu ini ke suasana yang begitu romantis. Sebetulnya menurut penilaian saya, lirik lagu ini tidak sepuitis lagu-lagu sebelumnya. Liriknya sederhana, tetapi tidak menghilangkan romantismenya bahkan semakin dieksploitasi dengan kehadiran Icha sebagai teman duet Is (vokalis dan gitaris Payung Teduh). Berikut adalah lirik lagu tersebut.

Mengenang PT. Texmaco Perkasa Engineering

Industri manufaktur Indonesia sedang dalam perkembangan yang cukup memberikan angin segar. Beberapa waktu lalu kita digegerkan dengan mobil yang diciptakan di Indonesia oleh para pelajar SMK di Solo dengan bantuan dari perusahaan karoseri lokal, Kiat Keroseri. Mobil itu diberi label buatan pabrikan Esemka dengan berbagai variannya. Di antaranya adalah Digdaya dan Rajawali. Tidak hanya itu, bahkan murid-murid SMK telah diajarkan merakit pesawat terbang. Walaupun jenisnya hanya pesawat latih. Masyarakat bersemangat dan bergairah dengan kabar menggembirakan tersebut. Sebagian masyarakat bahkan telah memesan mobil-mobil buatan murid-murid SMK tersebut. Bapak Jokowi, selaku Walikota Solo kala itu, juga telah menggunakan mobil Esemka sebagai kendaraan dinasnya. Media begitu menggembar-gemborkan berita itu. Hampir semua stasiun televisi memberitakannya. Lalu, apa yang terjadi sekarang? Sudah hampir tidak ada beritanya lagi yang muncul di televisi. Kita hanya bisa menikmati beritanya dari me

Pabrik Tua PG Modjo

Ketika libur tiba, yang sebaiknya kita lakukan adalah berwisata. Wisata bisa kemana saja, yang menurut kita bisa merilekskan tubuh dan pikiran. Berbeda-beda bagi setiap orang karena ketertarikan setiap orang terhadap sesuatu juga berbeda. Seperti yang aku lakukan belum lama ini. Aku berkunjung ke rumah Budeku yang ada di Sragen, Jawa Tengah, untuk menghadiri Mbakku yang menjalani prosesi ngunduh manten (salah satu prosesi pernikahan adat Jawa). Beberapa waktu lalu, Mbakku pernah menceritakan kondisi Kota Sragen yang cenderung sepi dan panas. Menurutnya tidak ada yang menarik di kota itu. Paling pun yang ada hanya sebuah lokasi pabrik tua yang ada sejak zaman Belanda dan masih beroperasi hingga saat ini. Pabrik tersebut adalah pabrik gula. Ketika pertama datang ke sana, lokasi pabrik gula tua itu adalah pertanyaan-pertanyaan pertama yang aku lontarkan. Pabrik gula itu bernama PG Modjo. Modjo (Mojo) merupakan nama desa di lokasi pabrik itu berdiri, mungkin juga nama buah seperti dal