Sore, air laut menyapu
pantai. Membawa butiran pasir lalu membawanya pergi lagi. Sepasang kaki putih
bersih tenggelam setengah senti di pasir. Kaki milik seorang gadis yang sering
dipanggil Suri. Lengkapnya Ifsuri Meilani. Gadis desa, kembang desa, dari
keluarga biasa. Cantik mempesona. Rambutnya panjang sebawah pundak, berwarna
kecoklatan, keriting agak kusut. Kulitnya tetap putih, mungkin ada garis
keturunan China. Tangannya terlipat di depan dadanya. Risau menanti Wilan,
kekasihnya. Seorang remaja yang juga dari keluarga biasa. Tidak begitu tampan,
hanya saja menjadi pujaan perempuan-perempuan setempat. Dia cerdas, tidak heran
jika dia berhasil meraih beasiswa dari sekolah dasar hingga kuliah. Dan
sekarang diharuskan berangkat ke Kepulauan Natuna. Beasiswa kuliahnya yang
mengharuskannya. Bekerja sebagai teknisi pertambangan minyak dan gas bumi
selama 10 tahun. Klausul lain menyebutkan bahwa Wilan tidak diizinkan pulang
dan atau menikah dalam jangka waktu 2 tahun pertamanya dengan alasan apapun.
Suri berdiri lama terdiam
tanpa gerak tanpa ekspresi, selain kedipan mata dan tarikan napasnya yang sedikit
sesak. Tiba-tiba saja matanya terasa berat, ada sesuatu yang memaksa keluar
darinya. Air mata. Ia bisa merasakan kehadiran Wilan yang telah berdiri terpaku
10 meter di belakangnya. Suri terisak. Dadanya sesak. Mereka berdua sama-sama
tahu belum saatnya berbicara. Suri berlari dengan sisa tenaganya tanpa menoleh
ke arah Wilan. Kakinya gemetar. Berulang kali jatuh tersungkur di pantai. Wilan
bergeming. Suri pun terus berlari.
Di rumahnya, Suri masuk ke
kamar mandi. Mengunci dirinya. Menghujani tubuh yang lengket karena air laut
dengan semburan shower. Panggilan orang rumah yang khawatir tak dihiraukannya. Menangis
sesenggukan hingga habis tenaganya. Wilan datang. Masuk tanpa diizinkan.
Mendobrak pintu kamar mandi dengan kekuatan penuh tanpa menghiraukan larangan
keras ibunda Suri. Ia menemukan tubuh Suri lemas. Pingsan karena akumulasi lemas,
kelelahan, dan kedinginan. Dengan cepat ia angkat tubuh Suri. Ibunda Suri
panik. Wilan segera menaruh tubuh Suri di ranjang kamar ibundanya. Membiarkan
ibundanya menggantikan pakaiannya yang basah kuyup.
Panas tubuhnya meningkat,
sekaligus dingin yang menusuk yang dirasakan. Belum sadar dari pingsan, ia
mengigau memanggil-manggil nama Wilan. Wilan membisikkan ke telinga Suri untuk
memintanya tenang. Suri merasakan dingin yang jauh lebih menusuk dari
sebelumnya. Tubuhnya menggigil keras. Wilan segera menyelimuti Suri dengan
puluhan lapis selimut, tetapi Suri tetap merintih kedinginan. Wilan tanpa pikir
panjang lagi segera memeluk tubuh Suri dengan erat. Erat sekali. Barulah Suri
tenang dan tak berapa lama ia siuman. Sadar Wilan yang ada di atas tumpukan
selimutnya, ia tampar keras-keras wajah Wilan kemudian memeluknya sekuat tenaga.
Sambil terisak. Lama sekali. Wilan terdiam, tidak melawan. Ia sadar, melawan
akan memperburuk suasana dan juga hati Suri.
Melepas Wilan untuk waktu
yang begitu lama, bagi Suri sama seperti mencabut kuku dengan paksa. Bahkan
lebih sakit lagi. Tetapi, itulah konsekuensi yang harus ditanggungnya. Ini juga
demi masa depan mereka berdua. Sebab dulu ia sendiri yang mendorong Wilan untuk
meraih beasiswa itu. Ada sedikit rasa penyesalan dalam hatinya.
Esok adalah hari keberangkatan
Wilan. Dalam keadaan masih lemas, Suri bangkit dari tempat tidurnya. Menarik
tangan Wilan untuk mengajaknya ke suatu tempat. Ibunda Suri takkuasa menahan.
Tempat yang dimaksud Suri ternyata sebuah bukit. Bukit yang sangat mereka kenal
dan penuh kenangan. Bukit berumput rendah yang mereka tetapkan sebagai tempat
khusus saat-saat berbahagia. Tidak boleh ada kesedihan di sana. Bukan maksud
Suri mengubah paten bukit itu malam ini. Ia hanya ingin menyatakan rasa
bahagianya, tidak ada sedikitpun kesedihan, sekaligus memberikan restu kepada
Wilan untuk pergi demi masa depan mereka yang lebih baik.
"Tenang
saja, aku bahagia, sangat bahagia," kata Suri sambil tersenyum dan menatap
mata Wilan dalam-dalam.
"Terima
kasih, dengan ini langkahku menjadi lebih ringan. Ini untukmu. Mm, maksudku
untuk kita," jawab Wilan seraya memberikan sebuah cincin kepada Suri.
Wilan melamar Suri malam itu,
di bukit mereka, bukit kebahagiaan mereka. Wilan melingkarkan cincin
pemberiannya ke jari manis Suri. Dada Suri kembali sesak. Bukan karena sedih,
melainkan rasa bahagia yang sangat membuncah. Bercampur dengan rasa tidak
percaya lelaki pujaannya melamarnya. Malam ini sungguh malam yang istimewa di
tempat yang istimewa.
Sekali lagi, Suri memeluk
erat Wilan, juga dengan air mata. Air mata bahagia.
"Tunggu
aku dua tahun lagi," bisik Wilan.
Suri hanya mengangguk dan
semakin mengeratkan pelukannya.
hiks.. romantis bgt..
BalasHapusini true story ato pengalaman pribadi? :D
hahaha gak mbak, itu fiktif
BalasHapussebagian terinspirasi dari foto itu :)
Hohoho *curiga* :p
BalasHapuscuriga kenapa? :P
BalasHapus