Langsung ke konten utama

Berkah 2



Aku baru tertarik membaca dalam beberapa bulan belakangan ini. Aku mulai mencoba membaca buku yang menurutku cukup tebal dengan membelinya sendiri, biasanya aku hanya pinjam dari teman. ƗƗɐƗƗɐƗƗɐ. Ketika aku ditempatkan kerja di Belitung, di KPP Pratama Tanjung Pandan, aku melihat sebuah buku. Buku yang sebenarnya sudah sering kulihat. Namun, baru belakangan ini aku penasaran dengan isinya. Buku itu berjudul "Berbagi Kisah & Harapan: Berjuang di Tengah Badai". Sebuah buku yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Awalnya ketertarikanku terhadap buku ini biasa saja. Hanya bisa menerka-nerka isinya: kumpulan cerita tentang perjuangan menjadi pegawai pajak. Dan ternyata itu benar. Ketertarikanku bertambah ketika tahu salah satu yang memberi testimoni adalah Asma Nadia, penulis hebat yang diidolakan banyak pembaca. Asma Nadia sudah membaca buku ini. "Buku-buku yang baik dan mencerahkan seperti Berbagi Kisah dan Harapan 2, Berjuang di Tengah Badai ini, semoga menjadi titik-titik cahaya yang menerangi kegelapan sanubari dan memberi harapan" tulisnya.


Aku pun mulai membaca buku itu di kontrakanku di Belitung. Cerita-cerita pertama menarik. Bahasan yang diangkat bagus dengan bahasa yang menunjukkan bahwa penulis cerita sudah sering menulis. Bercerita tentang perjuangan pegawai pajak yang di tempatkan di penjuru Indonesia. Mulai dari berpisah jauh dengan keluarga hingga berjuang menyelamatkan diri dari terjangan peluru tajam di tengah konflik antarsuku di Kalimantan.

Ternyata menjadi pegawai pajak tidak selalu senikmat yang dibayangkan kebanyakan orang: banyak uang, hidup berkecukupan, hidup tenang, dan masih banyak lagi. Dari cerita-cerita itu aku baru tahu, untuk mengabdi kepada negara pun bisa sampai sesulit itu. Aku pun harus bersyukur ditempatkan di Belitung. Yang masih dekat dengan Jakarta--hanya 45 menit naik pesawat--jika dibandingkan dengan cerita-cerita itu. Meskipun masih terasa berat hidup jauh dari orang tua untuk waktu yang lama.

Cerita yang bagus itu tidak banyak dan cerita-cerita selanjutnya justru makin membuatku malas membacanya. Bukan karena kualitas tulisannya yang buruk melainkan bosan dengan isi cerita-cerita itu: "yang tidak boleh disebut namanya"--Gayus.

Ketika berita tentangnya muncul, aku--yang saat itu belum menjadi pegawai DJP--hanya kuat mendengarkannya paling kuat 2 hari. Selebihnya aku tutup rapat-rapat kedua telingaku untuk mendengar namanya. Walaupun itu percuma. Setiap aku menonton televisi, membaca koran, membuka portal berita, membuka media sosial, namanya selalu ada. Belum lagi aku dengar si "yang tidak boleh disebut namanya" dari orang-orang di sekitarku. Aku semakin muak dengannya.

Sama halnya dengan pertama muncul beritanya, ketika membaca buku ini yang berulang kali menyebutkan namanya pun aku sudah tidak kuat. Tidak sampai seperlima bagian buku yang kuat kubaca. Bedanya, dulu telingaku yang panas, sekarang hatiku yang panas. Dia seperti orang yang paling hina dan menjijikkan dalam hidupku. Meskipun aku tidak mengenalnya.

Ketika aku mengikuti diklat orientasi--sejenis samapta, tetapi lebih ringan--, barulah aku mengetahui bahwa salah satu alasan dibuatnya buku itu memang dikarenakan adanya "Badai "yang tidak boleh disebut namanya"". 



Keterangan itu aku peroleh langsung dari salah satu pelopor dan motor reformasi birokrasi di tubuh DJP, Ibu Herru Widyatmanti, SE, MM.(Ibu Widi). Ibu Widi dengan berapi-api menceritakan hebatnya badai itu. Badai yang sangat kuat menerpa bangunan reformasi birokrasi yang susah payah dirintisnya. Dibantu oleh seluruh elemen DJP, Ibu Widi mencoba mempertahankan bangunan kepercayaan masyarakat yang sudah mulai terbangun yang hampir rubuh hanya oleh ulah seorang "anak kecil".

Ibu Widi begitu terpukul oleh ulahnya. Begitu kuat perasaannya sehingga kamipun yang mendengar ceritanya dapat merasakan emosinya yang meluap. Mungkin masih begitu lekat luka itu sehingga tampak lapisan air mata yang melapisi korneanya. Mungkin juga ia tidak sudi meneteskan air matanya hanya untuk "yang tidak boleh disebut namanya".

Tenang saja ibu, kami anak-anakmu akan selalu berada di sampingmu, untuk terus mendukung usaha muliamu membangun bangunan kepercayaan, demi bangsa dan negara.

Komentar

  1. aku baru tahu ada buku itu. Tapi kok isinya kebanyakan ttg g*y*s. Jd males.. hehe
    Bagiku gys tuh ga pernah ada dan bkn bagian dr kita :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. gayus itu ada untuk merusak. tugas kita adalah memperbaiki kerusakan itu dan menutup kemungkinan terjadinya kerusakan yang sama

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mari Bercerita

Payung Teduh kembali memperkenalkan karya emasnya. Lagu-lagu Payung Teduh dikenal sangat puitis dan romantis. Ditambah lagi dengan alunan musik Folk Jazz -nya yang syahdu membuat penikmat karyanya semakin merasakan keteduhannya. Salah satu lagu terbaru mereka berjudul Mari Bercerita. Karya-karya sebelumnya membuat kita membayangkan keromantisan si pembawa lagu dengan kekasihnya. Sementara di lagu ini, kita tidak perlu lagi membayangkannya karena lagu ini dibawakan secara duet dengan seorang wanita berparas ayu bernama panggilan Icha. Karya ini karya pertama Payung Teduh yang dibawakan secara duet. Suara mereka yang lembut dan merdu mampu membawa lagu ini ke suasana yang begitu romantis. Sebetulnya menurut penilaian saya, lirik lagu ini tidak sepuitis lagu-lagu sebelumnya. Liriknya sederhana, tetapi tidak menghilangkan romantismenya bahkan semakin dieksploitasi dengan kehadiran Icha sebagai teman duet Is (vokalis dan gitaris Payung Teduh). Berikut adalah lirik lagu tersebut.

Mengenang PT. Texmaco Perkasa Engineering

Industri manufaktur Indonesia sedang dalam perkembangan yang cukup memberikan angin segar. Beberapa waktu lalu kita digegerkan dengan mobil yang diciptakan di Indonesia oleh para pelajar SMK di Solo dengan bantuan dari perusahaan karoseri lokal, Kiat Keroseri. Mobil itu diberi label buatan pabrikan Esemka dengan berbagai variannya. Di antaranya adalah Digdaya dan Rajawali. Tidak hanya itu, bahkan murid-murid SMK telah diajarkan merakit pesawat terbang. Walaupun jenisnya hanya pesawat latih. Masyarakat bersemangat dan bergairah dengan kabar menggembirakan tersebut. Sebagian masyarakat bahkan telah memesan mobil-mobil buatan murid-murid SMK tersebut. Bapak Jokowi, selaku Walikota Solo kala itu, juga telah menggunakan mobil Esemka sebagai kendaraan dinasnya. Media begitu menggembar-gemborkan berita itu. Hampir semua stasiun televisi memberitakannya. Lalu, apa yang terjadi sekarang? Sudah hampir tidak ada beritanya lagi yang muncul di televisi. Kita hanya bisa menikmati beritanya dari me

Pabrik Tua PG Modjo

Ketika libur tiba, yang sebaiknya kita lakukan adalah berwisata. Wisata bisa kemana saja, yang menurut kita bisa merilekskan tubuh dan pikiran. Berbeda-beda bagi setiap orang karena ketertarikan setiap orang terhadap sesuatu juga berbeda. Seperti yang aku lakukan belum lama ini. Aku berkunjung ke rumah Budeku yang ada di Sragen, Jawa Tengah, untuk menghadiri Mbakku yang menjalani prosesi ngunduh manten (salah satu prosesi pernikahan adat Jawa). Beberapa waktu lalu, Mbakku pernah menceritakan kondisi Kota Sragen yang cenderung sepi dan panas. Menurutnya tidak ada yang menarik di kota itu. Paling pun yang ada hanya sebuah lokasi pabrik tua yang ada sejak zaman Belanda dan masih beroperasi hingga saat ini. Pabrik tersebut adalah pabrik gula. Ketika pertama datang ke sana, lokasi pabrik gula tua itu adalah pertanyaan-pertanyaan pertama yang aku lontarkan. Pabrik gula itu bernama PG Modjo. Modjo (Mojo) merupakan nama desa di lokasi pabrik itu berdiri, mungkin juga nama buah seperti dal