Awalnya
ketertarikanku terhadap buku ini biasa saja. Hanya bisa menerka-nerka isinya:
kumpulan cerita tentang perjuangan menjadi pegawai pajak. Dan ternyata itu
benar. Ketertarikanku bertambah ketika tahu salah satu yang memberi testimoni
adalah Asma Nadia, penulis hebat yang diidolakan banyak pembaca. Asma Nadia
sudah membaca buku ini. "Buku-buku
yang baik dan mencerahkan seperti Berbagi Kisah dan Harapan 2, Berjuang di
Tengah Badai ini, semoga menjadi titik-titik cahaya yang menerangi kegelapan
sanubari dan memberi harapan" tulisnya.
Aku pun mulai
membaca buku itu di kontrakanku di Belitung. Cerita-cerita pertama menarik. Bahasan
yang diangkat bagus dengan bahasa yang menunjukkan bahwa penulis cerita sudah
sering menulis. Bercerita tentang perjuangan pegawai pajak yang di tempatkan di
penjuru Indonesia. Mulai dari berpisah jauh dengan keluarga hingga berjuang
menyelamatkan diri dari terjangan peluru tajam di tengah konflik antarsuku di
Kalimantan.
Ternyata menjadi
pegawai pajak tidak selalu senikmat yang dibayangkan kebanyakan orang: banyak
uang, hidup berkecukupan, hidup tenang, dan masih banyak lagi. Dari
cerita-cerita itu aku baru tahu, untuk mengabdi kepada negara pun bisa sampai
sesulit itu. Aku pun harus bersyukur ditempatkan di Belitung. Yang masih dekat
dengan Jakarta--hanya 45 menit naik pesawat--jika dibandingkan dengan
cerita-cerita itu. Meskipun masih terasa berat hidup jauh dari orang tua untuk
waktu yang lama.
Cerita yang bagus
itu tidak banyak dan cerita-cerita selanjutnya justru makin membuatku malas
membacanya. Bukan karena kualitas tulisannya yang buruk melainkan bosan dengan
isi cerita-cerita itu: "yang tidak boleh disebut namanya"--Gayus.
Ketika berita
tentangnya muncul, aku--yang saat itu belum menjadi pegawai DJP--hanya kuat
mendengarkannya paling kuat 2 hari. Selebihnya aku tutup rapat-rapat kedua telingaku
untuk mendengar namanya. Walaupun itu percuma. Setiap aku menonton televisi,
membaca koran, membuka portal berita, membuka media sosial, namanya selalu ada.
Belum lagi aku dengar si "yang tidak boleh disebut namanya" dari
orang-orang di sekitarku. Aku semakin muak dengannya.
Sama halnya dengan
pertama muncul beritanya, ketika membaca buku ini yang berulang kali
menyebutkan namanya pun aku sudah tidak kuat. Tidak sampai seperlima bagian
buku yang kuat kubaca. Bedanya, dulu telingaku yang panas, sekarang hatiku yang
panas. Dia seperti orang yang paling hina dan menjijikkan dalam hidupku.
Meskipun aku tidak mengenalnya.
Ketika aku
mengikuti diklat orientasi--sejenis samapta, tetapi lebih ringan--, barulah aku
mengetahui bahwa salah satu alasan dibuatnya buku itu memang dikarenakan adanya
"Badai "yang tidak boleh disebut namanya"".
Keterangan itu aku
peroleh langsung dari salah satu pelopor dan motor reformasi birokrasi di tubuh
DJP, Ibu Herru Widyatmanti, SE, MM.(Ibu Widi). Ibu Widi dengan berapi-api menceritakan
hebatnya badai itu. Badai yang sangat kuat menerpa bangunan reformasi birokrasi
yang susah payah dirintisnya. Dibantu oleh seluruh elemen DJP, Ibu Widi mencoba
mempertahankan bangunan kepercayaan masyarakat yang sudah mulai terbangun yang
hampir rubuh hanya oleh ulah seorang "anak kecil".
Ibu Widi begitu
terpukul oleh ulahnya. Begitu kuat perasaannya sehingga kamipun yang mendengar
ceritanya dapat merasakan emosinya yang meluap. Mungkin masih begitu lekat luka
itu sehingga tampak lapisan air mata yang melapisi korneanya. Mungkin juga ia
tidak sudi meneteskan air matanya hanya untuk "yang tidak boleh disebut
namanya".
aku baru tahu ada buku itu. Tapi kok isinya kebanyakan ttg g*y*s. Jd males.. hehe
BalasHapusBagiku gys tuh ga pernah ada dan bkn bagian dr kita :D
gayus itu ada untuk merusak. tugas kita adalah memperbaiki kerusakan itu dan menutup kemungkinan terjadinya kerusakan yang sama
Hapus