Pulau Belitung,
pulau impian yang ingin aku datangi selain Pulau Bali dan Lombok. Tetapi, aku
kali ini datang bukan dalam rangka wisata melainkan keterpaksaan tugas negara.
Bukan saat dan keadaan yang aku inginkan. Bukan aku tidak senang atau
bersyukur, tetapi ini lebih mengarah kepada ketidakidealan kondisi aku ke sini.
Berat aku terbang ke salah satu surgaku ini. Kehilangan rasa ketertarikanku
seketika. Mungkin juga ini karena aku tahu akan lama tinggal di pulau yang
telah dikeruk harta karun timahnya. Bekerja di pulau ini untuk beberapa tahun
ke depan bukan waktu yang singkat tentunya. Tak apalah. Aku mungkin berjodoh
dengan pulau ini atau bisa jadi dengan salah satu gadis pulau ini.
Pesawatku tiba di
Bandar Udara H. AS. Hanandjoeddin, Kabupaten Belitung sekitar pukul 7 pagi.
Hanya 45 menit perjalanan dari Bandara Soekarno Hatta. Aku membayangkan pulau
yang indah, hijau, mengagumkan. Awalnya dugaanku itu benar. Dari atas pesawat aku
lihat pulau yang hijau dengan pepohonan dan juga perkebunan kelapa sawit,
terhampar luas. Semakin mendekati bandara, kekagumanku memudar. Tangan-tangan
jahat telah membuat pulau impianku ini tercabik-cabik untuk diambil kandungan
timahnya. Banyak lubang-lubang bekas galian timah di sana-sini. Luas sekali
areanya.
Yang lebih menyayat hati, lubang-lubang bekas galian itu dibiarkan menganga begitu saja. Berantakan. Tidak ada usaha mereklamasi hutan. Tidak ada usaha untuk sekadar mengembalikan sebagai mana mestinya. Bagai perampok rumah kosong, yang membiarkan rumah yang dirampoknya berantakan dengan berserakan barang-barang yang tak berharga setelah mengambil uang dan perhiasan. Ditambah lagi, aku tidak melihat dampak yang begitu besar dari eksploitasi timah besar-besaran itu. Kota masih sepi, kehidupan warga pun masih biasa-biasa saja, sekolah paling tinggi hanya sampai jenjang D3. Sepanjang yang aku tahu, kebanyakan anak-anak di pulau ini hanya sekolah hingga jenjang sekolah menengah atas. Ironis memang. Ketika pantai dan laut Pulau Belitung begitu dipuja-puja keindahannya, tetapi tidak begitu dengan kondisi daratannya, banyak bagian tanah yang tidak jelas wujud mukanya.
Yang lebih menyayat hati, lubang-lubang bekas galian itu dibiarkan menganga begitu saja. Berantakan. Tidak ada usaha mereklamasi hutan. Tidak ada usaha untuk sekadar mengembalikan sebagai mana mestinya. Bagai perampok rumah kosong, yang membiarkan rumah yang dirampoknya berantakan dengan berserakan barang-barang yang tak berharga setelah mengambil uang dan perhiasan. Ditambah lagi, aku tidak melihat dampak yang begitu besar dari eksploitasi timah besar-besaran itu. Kota masih sepi, kehidupan warga pun masih biasa-biasa saja, sekolah paling tinggi hanya sampai jenjang D3. Sepanjang yang aku tahu, kebanyakan anak-anak di pulau ini hanya sekolah hingga jenjang sekolah menengah atas. Ironis memang. Ketika pantai dan laut Pulau Belitung begitu dipuja-puja keindahannya, tetapi tidak begitu dengan kondisi daratannya, banyak bagian tanah yang tidak jelas wujud mukanya.
Yang membingungkanku adalah bisikan di hatiku
yang menyatakan bahwa aku akan betah di pulau surgaku ini. Bisa jadi karena
kondisi sosialnya. Belum berapa lama aku singgah di pulau ini, aku sudah
disambut oleh teman-teman kantor baruku. Dijemput di bandara, diberikan
tumpangan menginap beberapa hari sebelum menemukan tempat tinggal sendiri, dan
langsung diajak jalan-jalan mengitari sebagian daerah kantor. Aku segera dikenalkan
kepada teman-teman baruku bahkan sebelum aku masuk kantor. Mungkin alasannya
agar aku tidak canggung masuk kantor baruku esok harinya. Mereka mentraktirku
makan malam sambil menerangkan kondisi kantor baruku. Mulai dari letak kantor
hingga kondisi sosial kantor terkini. Luar biasa, pikirku. Ini telah jauh
melampaui ekspektasiku. Aku merasa di rangkul dalam satu ikatan, satu rasa yang
sama. Padahal mereka belum mengenalku, kecuali satu orang seniorku. Belum lagi
para pegawai super senior dan kepala kantor yang sangat bersahabat. Mereka
tidak menganggapku sebagai juniornya, tetapi sebagai anaknya. Aku takjub. Aku
senang.
Penduduknya begitu ramah tanpa ada sedikitpun kesan penolakan. Senyum bertebaran di mana-mana. Mungkin inilah maksud dari bisikan hatiku. Belitung telah menyambut
kedatanganku. Dengan tangan terbuka, dengan senyum terbuka, dengan semesta
terbuka. Untukku. Nyata tanpa ilusi, tanpa banyak basa-basi.
Bureaucracy can’t stop me from writing.
Komentar
Posting Komentar