"Umurmu
berapa sekarang?"
"22."
"Udah
punya pacar?"
"Belum."
"Nyari
dari sekarang, umur yang ideal buat kawin tuh umur 25 dan berarti itu sebentar
lagi kan?"
"Iya
sih, tapi belum kepikiran."
"Nunggu
kepikiran? Keburu tua kamu."
Percakapan
ini pernah aku alami. Tapi entah kapan dan dengan siapa percakapan ini aku
lakukan. Aku lebih ingat kepada isi dari percakapan itu. Percakapan yang penuh
dengan pertanyaan dan pernyataan yang menamparku. Menyadarkanku kepada sesuatu.
Sesuatu yang amat penting dalam hidupku, mungkin juga bagi hampir semua orang:
kawin.
Kakakku
baru saja kawin dengan pacarnya. Mereka pacaran sudah sekitar 4 tahun. Beberapa
jam sebelum pesta perkawinannya dimulai, aku sempat berbincang dengan calon
abang iparku.
"Udah
punya pacar belum?"
"Belum."
"Nanti
sepupuku dateng, orangnya yang tingginya se-kamu, putih, langsing, pokoknya
cantik deh. Kenalan aja dulu."
"Iya,
Mas."
Tidak
jauh perbincangan kami. "Sial!" pikirku. Tidak apalah, kalau memang
dia secantik yang dikatakannya, tidak ada salahnya juga aku berkenalan. Mungkin
saja dia memang jodohku. Namun, hingga pesta itu selesai, akupun tidak tahu
perempuan mana yang dimaksud oleh yang sekarang sudah menjadi abang iparku. Aku
memang tidak menyengajakan diri mencari sosok yang dimaksud. Bukan karena tidak
mau, tetapi ketika itu aku agak sibuk membantu sana-sini. Walaupun dalam
kenyataannya juga tidak membantu agaknya.
Sebenarnya
kondisi percintaanku tidak sememprihatinkan itu. Percaya atau tidak, aku pernah
juga berpacaran. Tiga kali. Hanya saja, yang paling lama hanya 1 bulan lebih
beberapa hari. Shock juga aku ketika
baru menyadari hal itu.
Itu
membuktikan bahwa aku bisa "mencari" sendiri jodohku. Aku sempat juga
beberapa kali mencoba mencari lagi. Yang terakhir, cantik, putih, rambutnya
panjang-hitam-lurus-berkilau, dan tampaknya baik dan pintar. Sampai seorang
wanita pun mengagumi kecantikannya.
"Hah,
cantik banget! Kejar tuh, Bud!"
Aku
mengiyakan dalam hati. Dari wajahnya aku menebak bahwa dia orang yang setia.
Ada lekuk wajahnya yang mengisyaratkan demikian. Sedikit nekat mencari kontaknya
bahkan alamat rumahnya. Dan aku berhasil ke rumahnya. Berkenalan dengan kedua
orang tuanya. Walaupun aku tahu dia sudah punya pacar. Aku mencoba
menggoyahkannya. Mencoba memberikan yang tidak diberikan pacarnya. Ternyata
perkiraan awalku benar. Dia orang yang sangat setia. Meskipun dia sering cerita
banyak kekurangan pacarnya itu yang sempat membawa angin segar untukku. Damn!
Gagal! Mundur, Jenderal!
Aku
menyerah di tangan kesetiaan yang menerima apa adanya pasangan. Aku mundur
sejauh-jauhnya karena tidak ingin menodai kesetiaannya yang begitu suci.
Itu
percobaan terakhir yang pernah aku lakukan. Percobaan yang aku rasa paling
gigih selama ini untuk mendapatkan hati seorang perempuan. Walaupun nyatanya
tidak berhasil. Sudah bisa berjuang sejauh itupun sudah membuatku senang. Dan
aku tidak pernah menyesal walaupun gagal.
Sebelumnya
aku juga pernah mencari seperti yang aku ingin. Dan kesemuanya sudah punya
pacar! Sampai ada seorang teman berkomentar.
"Buuuuddd,
carinya mbok ya yang belom punya pacar gitu lhooo, emang gak bisa?"
Memang
apa salahnya aku mendekati perempuan yang sudah punya pacar. Mungkin saja dia
jodohku yang sedang dipinjam orang lain. Atau dia perlu kusadarkan bahwa aku
jodoh yang tepat baginya. Bukankah kita belum tahu dia jodohku atau bukan
sebelum adanya ijab-kabul?
Aku
juga terkadang bingung dengan kekeraskepalaan cara pandangku tentang pencarian
pasangan hidup. Seringkali cara pandang dan tindakanku itu dipandang berlebihan
dan melawan norma. Aku sadar dengan semua itu. Tapi bukankah hal-hal seperti
ini memang bisa membuat orang menabrak penghalang paling besar sekalipun? Ah,
masih saja aku keras kepala.
Di
sisi lain, aku juga bingung dengan sistem pacaran. Seolah sistem itu telah
mengakar di lingkunganku--mungkin mayoritas kita--bahkan para orang tua merasa
khawatir ketika anaknya belum juga punya pacar. Hal itu akan menimbulkan tuntutan
tersendiri bagi si anak. Ditambah lagi dengan kebebasan yang terbatas. Boleh
dengan siapa saja asalkan bla bla bla. What the hell!
Komentar
Posting Komentar