Indonesia
memiliki banyak sekali suku. Beberapa sumber menyebutkan bahwa suku bangsa di
Indonesia berjumlah 1.340 suku. Salah satu suku itu adalah suku Jawa.
Sebenarnya suku Jawa juga dibagi lagi ke beberapa subsuku, hanya saja aku belum
menemukan referensi yang tepat mengenai jumlah pastinya. Seperti suku-suku di
Indonesia, suku Jawa memiliki budaya yang unik, salah satunya mengenai
kepercayaan. Suku Jawa percaya bahwa kejadian-kejadian dalam hidup manusia
berkaitan dengan tanggal lahirnya. Lebih spesifik, kepercayaan itu dikenal
dengan istilah wetonan. Sedangkan wetonan memiliki kata dasar weton. Weton
merupakan gabungan antara hari dalam penanggalan masehi dengan hari dalam
penanggalan Jawa.
Dalam sistem
penanggalan masehi terdapat 7 (tujuh) hari dalam satu minggu: Senin, Selasa,
Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, dan Minggu. Sedangkan dalam penanggalan Jawa, satu
minggu hanya memiliki 5 (lima) hari: Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon. Yang
dimaksud penggabungan hari dalam weton adalah nama hari dalam penanggalan
masehi diikuti dengan nama hari dalam penanggalan Jawa sesuai dengan hari lahir
kita. Dari kombinasi nama-nama hari itu maka akan menghasilkan 35 weton,
misalnya Jumat Kliwon. Malam Jumat Kliwon sering diidentikkan dengan hari yang
sangat menakutkan dengan kepercayaan itu adalah hari ketika hantu-hantu menjadi
memiliki kekuatan lebih untuk menampakkan dirinya kepada manusia. Mitos ini
sangat erat di pikiran sebagian masyarakat kita, teruama orang Jawa. Banyak
juga orang yang melakukan ritual khusus pada hari itu. Saking kuatnya mitos
itu, film-film dengan kualitas yang tidak jelas tentang Malam Jumat Kliwon laku
di pasaran. Padahal itu hanya mitos belaka.
Bukannya tidak
banyak yang tahu bahwa itu hanya mitos belaka, tetapi budaya Jawa itu sendiri
yang seakan menanamkan ke dalam pikiran orang Jawa untuk mempercayai mitos,
misalnya adanya pamali. Pamali ini sebagian merupakan tata
krama dan sebagian lainnya adalah mitos atau takhayul. Salah satu yang mitos
adalah larangan menyapu di malam hari dengan alasan hal tersebut bisa membuang
rezeki. Mungkin saja pamali ini dibuat ketika jaman dahulu belum ada lampu
sehingga suatu ketika ada kejadian kehilangan barang berharga yang ukurannya
kecil yang ikut terbuang ketika disapu pada malam hari dengan penerangan yang
kurang. Contoh lainnya adalah larangan membuka payung di dalam ruangan. Pamali
ini mungkin saja timbul karena kekhawatiran ujung-ujung pengait kain payung
akan mengenai mata seseorang ketika dibuka.
Ajaran agama pun
turut andil dalam melekatnya mitos tentang hal-hal gaib karena di dalamnya
mengajarkan untuk mempercayai hal-hal yang gaib. Ajaran agama pun berawal dari
sesuatu yang gaib. Ditambah lagi dengan adanya kejadian-kejadian sebelumnya
yang semakin meyakinkan bahwasanya mitos itu bukanlah mitos melainkan kenyataan
yang takterbantah.
Yang paling
membuat seseorang bisa bertindak di luar nalar adalah mengenai kesehatan.
Banyak orang di masyarakat kita yang terjangkit penyakit yang tidak kunjung
sembuh hingga bertahun-tahun. Berbagai macam pengobatan sudah dilakukan. Mulai
dari pengobatan modern hingga pengobatan yang paling primitif jika tidak boleh
disebut gila. Bagaimana bisa seseorang mengambil air bekas mandi Ponari untuk
diminum? Kemana logika mereka? Logika tidak berlaku ketika orang menderita.
Segalanya akan dicoba untuk menghilangkan penderitaan sekalipun jika harus
melakukan hal yang paling gila. Bunuh diri salah satunya.
Tulisan ini sudah terlalu panjang untuk berbasa-basi. Sebenarnya yang ingin saya samapaikan adalah mengenai kebingungan saya tentang novel yang saya baca terakhir ini. Dari ketiga novel terakhir yang saya baca, ketiganya memiliki tokoh bernama "Kliwon".
Kliwon pertama
ada di novel "Mimpi di Atas Satu Setengah Kaki" karya Luluk K.H.,
seorang perempuan yang diceritakan sebagai seseorang yang sebagian besar
perjuangan hidupnya diinspirasi oleh seorang sahabatnya yang memiliki kaki
tidak sempurna. Salah satu kakinya harus diamputasi hingga sebatas lutut dan
juga yatim piatu. Sahabatnya seorang wanita bernama Numi. Numi sukses menjadi
juara kelas dan sukses di bisnisnya. Sedangkan Kliwon sukses menjadi seorang
penulis walaupun hanya satu buku yang dihasilkannya sebelum akhirnya ia
meninggal karena kanker otak yang dideritanya.
Kliwon yang
kedua ada di novel "Cantik Itu Luka" karya Eka Kurniawan. Kliwon di
novel ini bukan sebagai tokoh utama, tetapi sangat berperan dalam
konflik-konflik yang timbul. Kliwon berperan sebagai seorang Kamerad, yaitu
pemimpin orang-orang berpaham komunis, mengikuti jejak ayahnya yang juga
berpaham komunis yang telah mati ditembak tentara pemerintah karena dianggap
menggangu stabilitas republik. Kamerad Kliwon memiliki banyak pendukung karena
aksi-aksi simpatiknya kepada masyarakat yang merasa tertindas oleh kebijakan
pemimpin pemerintah daerah, Shodanco, yang semena-mena. Uniknya, Kamerad Kliwon
dengan Sang Shodanco justru menjadi ipar setelah Kamerad Kliwon menikahi adik
dari istrinya.
Kliwon yang
ketiga ada di novel "Tuan Dalang" karya Dwi Rahayuningsih. Berbeda
dengan Kliwon-kliwon sebelumnya, Kliwon di novel ini bukanlah tokoh utama
ataupun tokoh pendamping. Kliwon di novel ini hanya seekor anak sapi yang
dipelihara oleh Paman dari tokoh utama. Tokoh utama mendapatkan keluarga baru
di rumah pamannya dan juga banyak pelajaran berharga termasuk dari perlakuan
pamannya terhadap Kliwon.
Sebenarnya yang
membuat saya ingin membagi kisah ini adalah saya heran dengan kebetulan ini.
Saya membaca tiga novel secara beruntun dan di ketiga novel itu ada Kliwon.
Kebetulan juga, weton saya adalah Rabu Kliwon.
Bureaucracy can’t stop me from writing.
Komentar
Posting Komentar