Hari ini, Sabtu, 22 Desember 2012, hari libur pertama di hari libur panjang 22-25 Desember.
Aku, Budi (@nurmbud), bersama kedua
sahabatku, Galih (@galihrakas) dan Anugrah (Anu - @priasanubari),
berencana untuk menyeberang ke Pulau Onrust, di gugusan Kepulauan Seribu
melalui pelabuhan Muara Angke.
BERANGKAT
Menurut jadwal yang penyeberangan yang aku
lihat di internet, hari Sabtu terdapat 2 kali keberangkatan, yaitu pukul
7 pagi dan pukul 1 siang. Saya sengaja merencanakan untuk berangkat
pada keberangkatan yang kedua karena pada hari sebelumnya, kami pulang
agak malam, sampai rumah kira-kira pukul 11 malam dan Anu baru keluar
kantor pukul 11 malam. Wih, rajin bener lembur ampe malem bener.
Maceeeetttttttt!!! Jadi males pulang.
Oke, kembali ke topik.
Kami bertiga tidak ada yang tahu jalan dan
belum pernah ada yang ke pelabuhan sebelumnya. Hanya tahu patokan
jalannya saja. Habis ke sini terus ke situ, ke sono, ke sana, ke sini.
Ya begitu-begitu saja. Kalau bingung tinggal tanya orang :)
Sampai kemudian sampai di satu titik yang
membuat saya begumam, “wah, sedikit lagi nih.” Namun, semakin ke dalam
tempat semakin kumuh berbau busuk dengan pemandangan jejeran ikan asin
yang sedang dijemur di sebelah kanan -galih nyebut ini sebagai “Museum
Ikan Asin”- dan jejeran rumah yang belum bisa dibilang layak di sebelah
kirinya. Semakin jauh berjalan, semakin tidak yakin akan jalan yang kami
ambil.
Kami saling memandang dan seakan bertanya,
“Apakah benar ini jalan menuju ke pelabuhan?” Beberapa genangan air
berwarna hijau nan anyir kami lewati. Puluhan polisi tidur dari
bekas tambang kapal kami libas. Pasar yang kami lalui, mungkin pasar
ikan atau tempat pelelangan ikan karena sangat banyak pedagang ikan,
terlihat sangat kotor, tetap dengan bau amis yang busuk membuat kami
yakin bahwa kami salah jalan. Bukannya kami putar arah atau bertanya
kepada orang lokal, justru kami terus jalan mengikuti jalan dengan
sedikit keyakinan yang tersisa.
Dan, ternyata benar! Ini jalan yang benar!
Kami sampai juga di pelabuhan Muara Angke! Satu-satunya tempat yang
cukup bersih dan layak sepanjang jalan setelah kami mengikuti plang
penunjuk arah terakhir.
DI PELABUHAN MUARA ANGKE
Kesialan dimulai (gk enak banget
pembukaannya). Masuk area pelabuhan ke arah tempat parkir sudah disambut
genangan. Entah habis hujan atau memang genangan yang tidak pernah
kering. Parkir pun sedikit bingung, tanpa keteraturan, tanpa keamanan.
Sudahlah, bodo amat, pikirku. Itu belum sial.
Kesialan pertama: Pelabuhan sepi. Kaca loket ditempeli tulisan: Sorry, We’re Close. Suara
hati: JANCOK. Hanya ada sedikit orang di sana. Tidak tahu mereka siapa.
Mungkin penumpang, mungkin orang yang menunggu kedatangan penumpang,
mungkin memang orang pelabuhan. Mereka hanya duduk-duduk dan sebagian
tertidur di kursi pelabuhan. Meskipun begitu, kami tidak langsung
pulang. Berkeliling pelabuhan menjadi pilihan. Ada beberapa kapal
bersandar, ada beberapa pekerja sedang membangun dermaga apung. Aku pun
memandang ke arah laut. Pulau impian jauh di depan mata, tanpa dapat
menggapainya. Sudahlah.
Memandang agak ke timur, pemandangan kontras terlihat. Di ujung ada skyscrapper tinggi
menjulang yang iklannya ada di tipi, si agung agung itu. Sementara
tidak jauh dari situ ada perumahan kumuh para nelayan. Keren, sekaligus
miris. “Tenang, sebentar lagi ini bakal kayak Singapur,” kata Anu menenangkan. Akupun tersenyum tanda setuju.
Anu rupanya sudah kelaparan dan mengajak kami sarapan -padahal udah jam1- dekat pelabuhan. Walaupun kata dia tempatnya nggak proper. Ya memang nggak proper, sebab tempatnya sangat bau amis, kotor, lebih-lebih saat itu tiba-tiba hujan.
Ya, kesialan kedua: tiba-tiba hujan.Entah insting atau apa, puluhan lalat ikut “berteduh” di warung makan itu. Damn!
Mungkin karena saking laparnya, kamipun makan juga, kecuali Galih, diet katanya. Kalau aku memang tergiur sama jengkolnya, mmm yummy. Banyak lalat? Bodo amat lah, yang penting lazis. Tidak betah berlama-lama, kamipun kembali ke pelabuhan.
Melihat pemandangan langka menyapa, kami tersenyum dengan sesekali tertawa. Pemandangan itu adalah sekelompok anak-anak
meluncur di lantai pelabuhan yang licin di guyur hujan. Ajaibnya mereka
meluncur sambil telanjang, sebagian telanjang bulat, bung! Mereka
tertawa lepas. Anu berkata, “Tuh men, bahagia itu sederhana.” Benar!
Bahagia itu sederhana! Kumpul sama teman-teman dan menggila. Cukup!
Walau sedikit uang, bahkan tanpa uang. Semoga kebahagiaan itu tidak
hilang seiring bertambahnya usia ataupun bertambahnya pendidikan. Think that!
Kembali ke tempat kami semula datang. Hujan
tak kunjung menandakan akan mereda. Duduk bertiga, sedikit berkelakar.
Yang paling menohok soal pacar karena yang sudah punya pacar baru anu.
Habislah aku dan Galih dibombardir. Skip bagian ini lah, hehehe.
Untuk membunuh kebosanan, kami berfoto-foto.
Bertiga, berdua, sendiri-sendiri. Setelah lihat hasilnya, men, kita
cupu, men. Gayanya tidak ada yang bagus. Cukuplah, memang kita bukan
model. Tapi itu cuma di foto. Aslinya? Beeeuuuhhh, enggak usah ditanya.
Kami bertiga geng superkool! Setidaknya, menurutku si begitu.
Tak terasa jam menunjukkan pukul 16.30. Lama
juga kami di sini. Bersia-sia 3 jam tanpa hasil. Sementara cuaca masih
gerimis rapat. Kamipun memutuskan untuk pulang. Wajah suntuk tampak di
wajah Galih dan Anu. Terutama si Anu karena ceweknya yang gagal ngasih kejutan gara-gara ikut trip konyol ini.
“Daripada nginep di sini, mendingan kita
cabut sekarang deh. Tinggal gerimis ini ujannya,” kata Anu. Gerimis
rapat tak jadi masalah.
Perjalanan Pulang
Kesialan berlanjut.
Kesialan ketiga: helm basah kuyup.
Motor Beat ku memang kurang bagus tempat
menyangkutkan helmnya, jadi bagian dalam helm menghadap ke langit
sehingga air hujan meciptakan kolam lokal yang mungkin berisi biota
lokal, semacam kutu. Tadaaaa! Ekosistem kolam helmpun tercipta.
Crot! Bunyi helm di kepala. Mau bagaimana lagi? Daripada ditilang polisi bangun? Basah basah deh, puyeng puyeng deh.
Beberapa ratus meter keluar gerbang pelabuhan masih aman. Sampai akhirnya bertemu kesialan keempat: BANJIR!
Pernah melewati banjir dengan mengendarai
motor? Itu belum seberapa karena hanya air hujan bercampur tanah. Nah
ini, air hujan bercampur pasang air laut ditambah lagi dengan air
“rendaman” ikan busuk dan sampah busuk! Warnanya hitam pekat berbau amis
dan busuk menusuk. “Trabas aja bud daripada tambah tinggi robnya, malah
nginep di sini nanti kita bisa-bisa,” kata Anu yang diiyakan Galih.
Perlu keputusan matang dalam hal ini. Motorku tak masalah karena motor
sudah tidak bisa dibilang baru dan baru saja ganti oli. Yang aku
pikirkan adalah motor Anu. Vario Techno nya masih baru, aku sungguh
tidak tega sekaligus merasa bersalah kalau terjadi apa-apa dengan motor
Anu. Tapi, karena ini permintaan Anu yang sudah tampak sangat bete maka
kami menerabas banjir di sepanjang jalan yang melintasi pasar ikan dan
tempat penjemuran ikan asin. Beberapa motor lain tampak mogok dan
menepi. “Jalan terus! RPM mesin jangan sampai terlalu rendah biar
mesinnya enggak mati!” teriak Anu kepadaku. Akupun mengangguk tanda
mengerti.
Jalan yang tergenang banjir terlalu panjang
bagiku. Lebih tepatnya motorku. Sesekali menepi keluar jalan untuk
mengistirahatkan motorku. Jalan yang tidak begitu panjang menjadi terasa
sangat panjang walaupun akhirnya keluar dari area pelabuhan dan pasar
ikan, seketika itu juga kami keluar dari area yang tergenang banjir.
Berkendara kurang lebih 1km aman dari banjir, sampai di suatu perempatan
banjir kembali menggenang. Kali ini banjir yang lebih dalam. Aku tidak
membawa sandal jepit. Sementara air menggenang begitu tinggi. Akupun
meminta pergantian pengendara dengan Galih. “Lih, gantian nyetir, kan lu
pake sandal,” pintaku. “Enggak bud, lu aja yang nyetir, gua gak bisa.
Nih gua pinjemin sandal gua,” jawab Galih. “Ah elu, gantian kek,”
kataku. “Udah elu aja, sini copot sepatu lu, gua nyeker deh,” kata
Galih. Yasudahlah, daripada yang daripada, pikirku. Jadilah aku tetap nyetir dan Galih nyeker.
Awalnya aku optimis bisa melewati banjir
karena Anu yang berada di depan tampak berhasil melewatinya hingga tidak
tampak, lenyap di balik tikungan. Kenyataannya, aku ragu bisa
melewatinya, apalagi bensinku sudah hampir habis. Akupun memutuskan
menepi sambil melihat motor-motor yang menerobos banjir, tetap sambil
selap-selip di antara mobil yang berhenti karena macet. Beberapa
berhasil, beberapa mogok, dan beberapa ikut menepi bersamaku.
Selang sekitar 15menit kemudian banjir dan
macet tidak nampak akan membaik. Akupun nekat menerobos banjir, tapi
lewat trotoar. Maaf, kali ini aku memang benar-benar mentok dan terpaksa
lewat trotoar.
Lepas tikungan ternyata banjir tidak begitu
tinggi. Anu sudah menunggu di situ. “Gila, kalo rumah gua di sini udah
stress duluan kali gua,” gumam Anu. “Lu belom biasa aja, Nu,” kataku.
“Mungkin. Ayo ah jalan lagi.”
Tidak berapa jauh, jalan tidak tergenang.
Tidak berapa jauh kemudian lagi, entah nama daerahnya apa, jalan kembali
tergenang. Di situlah aku dan Galih terpisah dari Anu. Anu, melalui
ВВМ, memutuskan sebaiknya kami bertemu di kantor saja. Aku dan Galih
setuju.
Setelah mengisi bensin, aku dan Galih
melanjutkan perjalanan. Jalan tidak tergenang. Sampai di flyover di
depan kampus Trisakti aku heran karena banyak sekali motor yang berjalan
melawan arus yang seharusnya sama sekali tidak boleh lawan arus,
apalagi kondisi jalan macet. Ternyata di depan banjir sangat tinggi
menutupi jalan. Dari atas flyover tampak kampus Trisakti terendam kurang
lebih 1meter. Yang ada dalam pikiranku adalah tadi aku bisa melewati 3
genangan, yang ini aku yakin genangan terakhir harus bisa! Ini baru
nekat. Ini genangan yang paling dalam. “Terabas, Lih?” tanyaku. “Terabas
aja, tanggung,” jawab Galih.
Dengan penuh keberanian, aku terabas genangan
terakhir dan terdalam. Dan berhasil! Segera setelah melewati banjir
tersebut, Galih meminta berhenti. “Jok lu panas, Bud!” kata Galih.
“Panas kenapa?” “Gak tau, tadi tiba-tiba panas gitu. Yaudah yok jalan
lagi” “Gak apa apa nih?” “Iye, udah adem.”
Itu banjir terakhir sepanjang perjalanan. Kamipun santai menuju checkpoint, kantor. Anu sudah menunggu di kantor.
“Lama amat lu pada, ke mana aja?” tanya Anu.
“Banjir kan,” jawabku. “Emang tadi lu lewat
mana?” “Lewat Gatsu,” “Kenapa gak lewat senayan aja kaya gua? Kan lebih
cepet,” “Iya, tadi juga mau lewat situ, tapi kan masuknya macet banget
tuh,” “Iya si, tapi seterusnya lancar,” “Iye, dan sekarang gua udah
nyampe sini kan?” “Iye. Gak mau lagi dah gua ke Muara (B)Angke. Kapok!
Lu pada aja dah yang ke sana, gua kagak mau lagi. Besok pagi langsung
gua service tuh motor gua,” kata Anu kesal. “Udah, main PES aja kita,”
ajak Galih. “Ayok ayok!” jawab Anu dan aku serentak.
Selesai.
hahahanjrit poto gw gede banget mukanya... yok ke muara bangke lagi bud
BalasHapushayuuukkk
BalasHapus