Saya melihat segelas teh tubruk
yang sudah mulai kehilangan kalornya. Itu teh buatan ibu saya untuk bapak saya.
Belum diminum sedikit pun karena tidak seperti biasanya sampai jam 7 malam bapak
saya belum juga pulang. Ibu saya memang perhatian. Selalu menyiapkan teh untuk
menyambut bapak saya pulang. Bahagia betul bapak saya dapat istri seperti ibu
saya. Tiba-tiba saya terpikirkan, saya masih muda, belum menikah. Jodoh pun
belum ada bayangan. Seketika saya membayangkan sudah menjadi seorang bapak yang
mempunyai anak usia belasan. Dalam bayangan saya, dia bertanya, "Ayah,
kalo ayah aku panggil Bokap boleh gak?" Anak saya nampaknya jauh lebih
"gaul" daripada saya kelak. Berani juga bertanya seperti itu, sebab saya
saat ini agak canggung bertanya hal-hal yang tidak serius seperti itu.
"Boleh dong." "Kalo aku panggil Papa?" "Gak
boleh!" "Lho, kenapa, Yah?" "Kamu boleh panggil Ayah bokap,
bapak, ayah, babe, atau bapake, tapi kamu gak boleh panggil papa, papi, daddy,
atau abi." "Tapi kenapa? Kan keren." "Itu bahasa asing,
Nak. Kita punya banyak bahasa lokal. Jadi, untuk apa kita pakai bahasa asing
untuk kalangan kita sendiri?"
Perbincangan dalam pikiran saya
dengan anak saya berbelok begitu saja. Awalnya akrab kemudian berubah menjadi
kaku. Mungkin saya terlalu lurus. Tapi itulah yang sedang saya pikirkan hingga
sedih yang saya rasakan. Kita punya 748 bahasa lokal yang tersebar di seluruh
pelosok nusantara, tapi kenapa sekarang bahasa asing lebih menguasai pikiran
kita? Sadar atau tidak, sering kali bahasa yang pertama terpikirkan oleh kita
adalah bahasa asing, terutama bahasa inggris. Ini merupakan pengaruh globalisasi melalui
lagu, film, berita, dan tentu saja kurikulum pembelajaran di sekolah. Tidak
salah. Hanya saja penggunaannya yang berlebihan. Pola pikir kita pun seperti
telah tertipu. Kita pikir kalau seseorang sering menggunakan kata asing dalam
pembicaraannya, berarti orang tersebut terlihat keren dan pintar. Sebaliknya,
orang yang menggunakan bahasa daerah, pola pikir kita seketika mengatakan orang
itu katrok atau kampungan dan pengetahuan
bahasa asingnya kurang.
Saya pernah membaca suatu
artikel di suatu majalah. Saya lupa majalah apa dan edisi berapa, sebab sudah
beberapa tahun lalu artikel itu saya baca. Kurang lebih judulnya "Orang
Melayu yang Tidak Nyaman Berbahasa Melayu". Artikel itu berisi tentang
Singapura. Mayoritas penduduknya saat ini menggunakan bahasa inggris dalam
percakapan sehari-hari. Padahal mereka jelas-jelas Ras Melayu, serumpun dengan
Indonesia yang berbahasa Melayu. Penduduknya memang masih mayoritas penduduk
asli, tetapi pengaruh globalisasi yang terlalu terbuka dan begitu derasnya
aliran penduduk asing yang berpindah ke Singapura menyebabkan banyaknya warga
asing berbahasa Inggris yang menetap. Hal ini juga berimbas kepada penggunaan
bahasa Inggris yang semakin menjamur hingga ke sendi-sendi kehidupan. Anak-anak
lebih terbiasa menggunakan bahasa Inggris ketimbang Melayu. Seorang warga asli
Singapura diwawancarai oleh penulis artikel tersebut dengan menggunakan bahasa
Melayu, tapi ia langsung memotong memohon untuk tidak menggunakan bahasa
Melayu. Malu katanya. Luar biasa.
Tertegun saya ketika itu
juga. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jika Indonesia juga mengalaminya.
Di daerah-daerah mungkin ketakutan saya hanya ketakutan yang berlebihan. Tapi
di Jakarta berbeda, saya mengalaminya sendiri. Sudah mulai banyak teman saya
yang lebih percaya diri dan merasa lebih pintar jika berbicara menggunakan
bahasa Inggris. Saya tidak bisa mencegah karena memang saya sendiri belum bisa
menggunakan bahasa Inggris, berbeda dengan mereka yang sudah lancar. Dan saya
juga sering menggunakan kosakata inggris dalam keseharian saya.
Saya senang bepergian ke
daerah lain di Indonesia. Saya senang mendengarkan masyarakat berbahasa lokal
walaupun kebanyakan saya tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Saya senang
melihat masyarakat kita menertawai bahasa daerah lain yang mereka anggap lucu.
Tentu saja menertawai bukan dalam artian mengejek, melainkan mengakrabkan
perbedaan bahasa tersebut. Baik dari segi bahasanya maupun dari segi logat
pengucapannya. Masih dalam koridor yang benar. Opera Van Java Trans7 mungkin
bisa menjadi contohnya. Sule yang berbahasa Sunda sering diajak berbicara
dengan bahasa Jawa oleh Nunung. Mereka saling menertawai bahasa mereka satu
sama lain yang mereka tidak mengerti. Namun, itu tidak menimbulkan perpecahan,
justru menambah keakraban di antara mereka. Saya pun masih menertawai bahasa
daerah saya sendiri. Kampung saya di Banyumas yang terkenal dengan bahasa
"Jawa ngapak"nya. Logat yang begitu medhok. Memang lucu bahkan bagi saya padahal ibu dan bapak saya
menggunakannya setiap hari.
Bahasa yang berbeda-beda itu
justru menjadi pemersatu bangsa dan memperkaya budaya bangsa. Saya berharap
bahasa lokal tidak punah seiring punahnya para penutur bahasa lokal,
pemuda-pemuda bangsa tidak melupakan bahasa lokal, atau bahkan malu menggunakan
bahasa lokal. Mari bersama-sama kita lestarikan bahasa lokal dan menggunakan
bahasa lokal untuk percakapan sehari-hari.
Pagi ini saya juga membaca postingan kak @icova5 tentang semakin lengketnya sang kekasih karena ia menyanyikan tembang jawa berjudul "Jenang Gulo". Tengok artikelnya >> klik di sini
aku juga suka ndengerin org ngomong pk bhs daerah. walopun ga mudeng tp suka senyum2 sndri.. Eh ada juga loh bhs daerah yg terdengar seksi.. hihihi
BalasHapuseh masa?
BalasHapusbahasa daerah mana mbak?