Langsung ke konten utama

Menulis Kacamata



Kita punya mata masing-masing. Kita telinga masing-masing. Kita punya indera masing-masing. Kita punya hidup masing-masing. Yang saya yakin itu semua berbeda satu sama lain. Masukannya bisa sama, tapi keluarannya pasti berbeda. Tergantung dari indera, sifat, pola pikir, cara pandang, keyakinan, dan sensitivitas.

Berbeda itu biasa. Berbeda itu wajar. Termasuk pendapat. Justru perbedaan itulah yang membuat hidup ini lebih berwarna, dinamis, dan indah. Setiap orang memiliki kepalanya masing-masing yang isinya pun tidak akan sama bahkan dalam satu keluarga. Kita pasti pernah berdebat. Mulai dari perdebatan kecil yang sepele hingga perdebatan besar yang berujung perang urat saraf bahkan kontak fisik dan kematian.

Sungguh unik memang. Seakan manusia diciptakan dengan dianugerahi kacamata. Kacamata untuk melihat dunia di sekelilingnya. Yang setiap kacamata itu memiliki visualitas yang tidak sama. Diciptakan khusus dan unik bagi setiap orang. Saya tidak dapat melihat dari kacamata Anda. Begitupun Anda, tidak dapat melihat dari kacamata saya ataupun orang lain. Dari kacamata saya, sesuatu itu berwarna biru, tetapi dari kacamata Anda, bisa saja terlihat berwarna abu-abu. Berbeda bukan? Bisa saja perbedaan itu menjadi perdebatan. Bila tidak disikapi secara dewasa tentu akan menimbulkan cekcok. Kita tidak perlu menggunakan kacamata orang lain untuk melihat apa yang dilihat orang lain. Begitu juga kita tidak perlu meminjamkan kacamata kita kepada orang lain. Percuma karena hanya yang memilikinya lah yang bisa melihat dari kacamatanya sendiri.

Lalu, bagaimana kita bisa mengharmoniskan perbedaan-perbedaan tersebut? Yaitu dengan cara memvisualisasikannya. Berbagi pandangan kepada orang lain. Bisa dengan cara berbicara, menjelaskan langsung kepada orang lain melalui suara. Ditambah dengan mimik dan emosi yang dapat kita transfer langsung kepada pendengar. Seketika itu juga pendengar dapat membalas visualisasinya dengan pandangannya sendiri. Mendebat langsung sang pembicara. Efektif. Tapi, visualisasi dengan suara juga memiliki keterbatasan, yaitu waktu yang terbatas sehingga visualisasi pandangan terbatas dengan waktu, tidak total, dan terpengaruh dengan pendengar, apalagi yang pendengar langsung mendebat. Bukankah lebih banyak yang lebih suka mendengar sebagian langsung membantahnya padahal yang pembicara belum selesai berbicara?

Untuk itu, saya lebih menganjurkan kita untuk melukiskan gambaran pandangan kita terhadap dunia kita melalui tulisan. Menuliskan kacamata kita masing-masing. Menulis sendiri. Tidak terpengaruh oleh orang lain secara langsung ketika menjabarkan. Pandangan yang dikeluarkan akan jauh lebih banyak dan lebih luas. Bebas, tidak terbatas. Visualisasi menjadi lebih menyeluruh hingga hal yang detil. Tulisanpun dianggap lebih abadi ketimbang suara. Banyak orang yang dapat membaca tulisan itu kapanpun. Bagaimana jika tidak setuju kemudian ingin mendebat? Buatlah tulisan. Tulisan tandingan yang menyanggah pandangan orang lain. Ibaratnya, jika buku oleh seseorang itu hitam, debatlah dia dengan buku putih anda.

Sungguh indah dinamika hidup manusia. Alangkah baiknya perbedaan yang kita hadapi, kita sikapi dengan bijak. Tulisalah kacamatamu sendiri. Ingat! Kacamata setiap orang berbeda-beda. Hargailah.

Tulisan ini dibuat dalam rangka meramaikan keikutsertaan saya dalam acara #7HariMenulis dari @birokreasi.

Komentar

  1. jadi lu sekarang pake kacamata ceritanya bud?

    BalasHapus
  2. kagak om
    gambar hanya ilustrasi belaka

    BalasHapus
  3. kacamatanya beda2 tergantung brp min-nya.. #eh

    bener, klo org tuh sama semua, jdnya mlh membosankan.
    perbedaan itu indah.. seperti pelangi yg terdiri dr macam2 warnah.. tp mempesonah.. :D

    BalasHapus
  4. betul!
    pengalaman memang gak boong :P

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mari Bercerita

Payung Teduh kembali memperkenalkan karya emasnya. Lagu-lagu Payung Teduh dikenal sangat puitis dan romantis. Ditambah lagi dengan alunan musik Folk Jazz -nya yang syahdu membuat penikmat karyanya semakin merasakan keteduhannya. Salah satu lagu terbaru mereka berjudul Mari Bercerita. Karya-karya sebelumnya membuat kita membayangkan keromantisan si pembawa lagu dengan kekasihnya. Sementara di lagu ini, kita tidak perlu lagi membayangkannya karena lagu ini dibawakan secara duet dengan seorang wanita berparas ayu bernama panggilan Icha. Karya ini karya pertama Payung Teduh yang dibawakan secara duet. Suara mereka yang lembut dan merdu mampu membawa lagu ini ke suasana yang begitu romantis. Sebetulnya menurut penilaian saya, lirik lagu ini tidak sepuitis lagu-lagu sebelumnya. Liriknya sederhana, tetapi tidak menghilangkan romantismenya bahkan semakin dieksploitasi dengan kehadiran Icha sebagai teman duet Is (vokalis dan gitaris Payung Teduh). Berikut adalah lirik lagu tersebut.

Mengenang PT. Texmaco Perkasa Engineering

Industri manufaktur Indonesia sedang dalam perkembangan yang cukup memberikan angin segar. Beberapa waktu lalu kita digegerkan dengan mobil yang diciptakan di Indonesia oleh para pelajar SMK di Solo dengan bantuan dari perusahaan karoseri lokal, Kiat Keroseri. Mobil itu diberi label buatan pabrikan Esemka dengan berbagai variannya. Di antaranya adalah Digdaya dan Rajawali. Tidak hanya itu, bahkan murid-murid SMK telah diajarkan merakit pesawat terbang. Walaupun jenisnya hanya pesawat latih. Masyarakat bersemangat dan bergairah dengan kabar menggembirakan tersebut. Sebagian masyarakat bahkan telah memesan mobil-mobil buatan murid-murid SMK tersebut. Bapak Jokowi, selaku Walikota Solo kala itu, juga telah menggunakan mobil Esemka sebagai kendaraan dinasnya. Media begitu menggembar-gemborkan berita itu. Hampir semua stasiun televisi memberitakannya. Lalu, apa yang terjadi sekarang? Sudah hampir tidak ada beritanya lagi yang muncul di televisi. Kita hanya bisa menikmati beritanya dari me

Pabrik Tua PG Modjo

Ketika libur tiba, yang sebaiknya kita lakukan adalah berwisata. Wisata bisa kemana saja, yang menurut kita bisa merilekskan tubuh dan pikiran. Berbeda-beda bagi setiap orang karena ketertarikan setiap orang terhadap sesuatu juga berbeda. Seperti yang aku lakukan belum lama ini. Aku berkunjung ke rumah Budeku yang ada di Sragen, Jawa Tengah, untuk menghadiri Mbakku yang menjalani prosesi ngunduh manten (salah satu prosesi pernikahan adat Jawa). Beberapa waktu lalu, Mbakku pernah menceritakan kondisi Kota Sragen yang cenderung sepi dan panas. Menurutnya tidak ada yang menarik di kota itu. Paling pun yang ada hanya sebuah lokasi pabrik tua yang ada sejak zaman Belanda dan masih beroperasi hingga saat ini. Pabrik tersebut adalah pabrik gula. Ketika pertama datang ke sana, lokasi pabrik gula tua itu adalah pertanyaan-pertanyaan pertama yang aku lontarkan. Pabrik gula itu bernama PG Modjo. Modjo (Mojo) merupakan nama desa di lokasi pabrik itu berdiri, mungkin juga nama buah seperti dal